Diskusi terakhir saya dengannya sebelum ia dirawat di rumah sakit membahas tentang state-corporate crime, yaitu bagaimana negara bisa terlibat dalam kejahatan terorganisir ketika kekuasaan dan korporasi saling menutupi kesalahan. Topik ini menginspirasi saya untuk menulis artikel "Tantangan Terberat Prabowo: State-Corporate Crime."
Awal Oktober lalu, saya menjenguknya di RS Fatmawati setelah ia menjalani operasi. Meski tubuhnya melemah, semangat dan ketajaman pikirannya tetap sama. Ia masih bertanya tentang situasi politik nasional, menunjukkan bahwa rasa cinta tanah airnya tidak pernah padam.
Pak Suripto sering mengatakan bahwa tugas intelijen sejati bukanlah menakuti rakyat, tetapi membaca arah sejarah dan menjaga bangsa dari kesalahan. Cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mendidik generasi muda agar tidak kehilangan nurani saat berhadapan dengan kekuasaan.
Bagi saya, Pak Suripto bukan sekadar mentor. Ia adalah cermin bagaimana kekuasaan dapat dijalankan tanpa kehilangan kemanusiaan. Di tengah dunia yang penuh ambisi dan kepalsuan, ia mengajarkan bahwa menjaga integritas berpikir adalah bentuk perjuangan tertinggi.
Kini, meski telah berpulang, jejaknya tetap hidup dalam setiap pertanyaan yang membuat kami gelisah dan setiap keputusan yang memaksa kami menimbang antara idealisme dan realitas.
Selamat jalan, Pak Suripto. Intelijen sejati tidak pernah mati—mereka hanya berpindah tempat, dari ruang operasi ke ruang batin murid-muridnya. Cara terbaik untuk mendoakannya adalah dengan melanjutkan kegelisahannya.
Artikel Terkait
Program Magang Nasional 2025 Dibuka Lagi, 80.000 Lowor untuk Fresh Graduate
Survei Indikator: Kepuasan Publik ke Prabowo 77,7%, Pemberantasan Korupsi Jadi Isu Prioritas
Bayi Laki-laki Ditemukan di Kandang Sapi Lampung Utara, Polisi Selidiki
7 Rahasia Kecerdasan Orang Pendiam: Mengapa Mereka Sering Paling Pintar di Ruangan