Pak Suripto, Intelijen yang Tak Pernah Pensiun dari Cinta Tanah Air
Oleh Gde Siriana Yusuf
Saya pertama kali bertemu Pak Suripto sekitar tahun 1991, saat masih kuliah di Bandung. Di tengah suasana politik Orde Baru yang penuh tekanan, kami para mahasiswa mencari ruang untuk berpikir bebas melalui forum diskusi kecil di rumah kos atau warung kopi. Di salah satu forum itulah saya mengenal Pak Suripto.
Meski masih aktif di dunia intelijen, penampilannya sederhana tanpa pengawal atau seragam. Ia hadir dengan mata tajam dan suara pelan yang menantang cara berpikir kami. Ia tidak pernah menggurui, tetapi selalu mendorong kami untuk berpikir lebih kritis.
Setiap pertemuan dengan Pak Suripto selalu diakhiri dengan pertanyaan, "Terus mau apa?" atau "Apakah mahasiswa sudah siap?" Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu sering kali lebih dalam maknanya daripada teori politik mana pun.
Suatu kali, ia berkata, "Politik bukan soal siapa berkuasa, tapi siapa yang sanggup menjaga nurani ketika sudah punya kuasa." Kalimat itu mengajarkan bahwa kecerdasan politik tanpa moral hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih terstruktur.
Pak Suripto juga menekankan prinsip gerakan mahasiswa yang ideal: Terstruktur, Terukur, dan Teratur. Ia menekankan bahwa keberanian tanpa strategi hanya akan menjadi energi yang cepat habis. Baginya, berpikir jernih adalah bentuk keberanian tertinggi.
Artikel Terkait
Kejagung Serahkan Rp 6,6 Triliun ke Kas Negara, Begini Cara Mengamankan Uang Sebanyak Itu
Malam Khidmat di Katedral, Ribuan Umat Padati Misa Natal
DDII Jabar Tegaskan Sikap: Imbau Umat Islam Hindari Ucapan dan Atribut Natal
Setahun Memimpin, Prabowo Tegaskan Kunci Pemerintahan Efektif Ada di Meritokrasi