Nasionalis Islamis Pancasilais: Melindungi Minoritas, Menjaga Mayoritas
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, dan Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat
Indonesia: Negara Hasil Perjanjian Moral
Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang lahir dari sebuah perjanjian moral, bukan dari satu ras, agama, atau bahasa semata. Republik ini dibangun di atas kesepakatan luhur yang mengakui perbedaan sebagai takdir Tuhan yang harus dijaga, bukan sebagai ancaman. Pilihan Indonesia pun unik: bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Ia menempuh jalan tengah yang menghormati langit sekaligus berpijak teguh di bumi.
Pencarian Keseimbangan Sejarah: Nasionalisme, Keislaman, dan Kemanusiaan
Sepanjang sejarahnya, Indonesia terus mencari titik keseimbangan di antara tiga arus besar: nasionalisme, keislaman, dan kemanusiaan universal. Dari proses inilah lahir watak khas bangsa: Nasionalis-Islamis-Pancasilais. Identitas ini bukan tiruan dari model Barat maupun terperangkap dalam sektarianisme Timur Tengah, melainkan tumbuh organik dari tanah air sendiri, dengan rasa dan akal bangsa Indonesia.
Jalan Tengah Indonesia: Bukan Israel, Bukan Blok Timur atau Barat
Indonesia memiliki karakter yang berbeda. Tidak seperti Israel yang menegaskan jati diri melalui eksklusivitas ras dan dogma. Juga bukan seperti blok Timur dan Barat yang memecah belah dunia berdasarkan ideologi. Indonesia menolak segala bentuk ekstremitas. Bangsa ini memilih menjadi Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi satu cita, beraneka warna namun satu jiwa.
Namun, merawat keberagaman bukanlah hal yang mudah. Di satu sisi, hak-hak minoritas harus dilindungi agar tidak terpinggirkan. Di sisi lain, posisi mayoritas harus dijaga agar tidak direduksi menjadi sekadar "angka besar tanpa makna dan kuasa". Tantangannya adalah melindungi yang kecil tanpa menindas yang besar, dan menjaga yang besar tanpa meniadakan yang kecil.
Patut dibanggakan bahwa sejak awal kemerdekaan, mayoritas umat Islam Indonesia tidak pernah memaksakan berdirinya negara Islam. Mereka memilih jalan konstitusional dan mempercayai Pancasila sebagai rumah bersama. Inilah wujud tertinggi dari jiwa nasionalis-Islamis: rela mengedepankan persatuan, tanpa harus meninggalkan keyakinan.
Ketika Keadilan Sosial Mulai Miring
Dalam perjalanan bangsa, idealisme keadilan yang seharusnya tegak lurus kadang mulai miring. Atas nama pluralisme, muncul fenomena yang secara diam-diam menggerogoti sendi-sendi kebangsaan: "tirani minoritas di atas mayoritas." Sebuah kondisi di mana kelompok kecil, dengan dukungan jaringan ekonomi dan politik yang kuat, mendominasi ruang-ruang strategis kehidupan publik - mulai dari media, kebijakan, hingga arah wacana kebangsaan.
Ini bukanlah persoalan agama atau etnis tertentu, melainkan soal keseimbangan. Ketika narasi "melindungi minoritas" berubah menjadi dalih untuk meminggirkan suara dan kepentingan mayoritas, saat itulah harmoni bangsa mulai goyah. Pancasila tidak boleh diselewengkan menjadi alat legitimasi kepentingan kelompok tertentu, melainkan harus tetap menjadi kompas moral bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bangsa ini lahir dari semangat gotong royong, bukan dari monopoli kekuasaan. Oleh karena itu, jika keadilan ingin ditegakkan, ia harus berani memandang ke dua arah: ke bawah untuk melindungi yang lemah, dan ke atas untuk menegur yang berlebihan. Inilah makna sesungguhnya dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artikel Terkait
Forum TBM Jakarta Diundang Festival Sastera 2025 Brunei, Perkuat Literasi Regional
Irjen Kemendikdasmen Tinjau Kelancaran TKA di Enrekang, Antusiasme Siswa Capai 99%
Kemensos dan Kementerian P2MI Perkuat Perlindungan Pekerja Migran Lewat Sekolah Rakyat
Pidato Sultan B Najamudin di Duta DPD RI 2025: Bangun Generasi Muda Berani & Peduli