MATERIALISME, DIALEKTIKA & LOGIKA IJAZAH PALSU JOKOWI, SEBUAH KRITIK POST MODERNISME
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat / Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis
“Setiap kebenaran, layak untuk diragukan. Dan keraguan akan kebenaran, itulah kebenaran” [Anonim]
Saat penulis menghadiri undangan diskusi MADILOG Forum Keadilan TV (Jum’at, 30/5), bersama Rekan Rivai Kusumanegara selaku Kuasa Hukum Jokowi, penulis seperti berada pada lautan diskursus logika, persis seperti Tan Malaka yang mensarah pemikiran Karl Marx dalam bukunya ‘Materialisme, Dialektika dan Logika’ (Madilog).
Sebuah buku, yang seakan menjadi salah satu buku Wajib saat penulis dulu ngampus dan menjadi aktivis di Universitas Muhammadiyah Magelang.
Ya, Reza Indragiri selaku moderator, mencoba mengayunkan ombak dan angin dialektika melalui sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menghujam.
Mencoba, mematahkan argumentasi, memalingkan dalil, sambil mencari sisi celah ruang sempit, untuk mencoba menghujamkan keragu-raguan atas logika kritik ijazah palsu Jokowi.
Bahkan, saat Reza Indragiri menawarkan ruang mediasi sebagai obat penawar perseteruan masalah ijazah palsu, yang hakekatnya racun mematikan, penulis harus segera mencari jawaban yang pas.
Yakni, Jawaban yang secara hukum memiliki alasan yuridis, secara filosofis mengunggah hakekat perjuangan rakyat yang ingin mencari jawaban kebenaran atas pertanyaan keabsahan ijazah Jokowi, sekaligus untuk memukul secara politis celah lawan untuk mengkooptasi kepentingan perjuangan dalam isu ini, menuju comberan fitnah yang penuh kemudharatan.
Alhamdulillah, penulis mendapatkan bekal sejak lama dalam diskursus yang membutuhkan kecepatan berfikir untuk menjawab sejumlah pertanyaan, yang menggunakan pendekatan Dialektika pemikiran.
Buku “Sur’atul Badihah”, atau ‘Metode Berfikir Cepat’ Karya Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menjadi pemandu yang jelas untuk membuat kerangka berfikir dalam menjawab segala pertanyaan, secara cepat dan logis.
Jawaban penulis, yang menolak berunding di ruang gelap, yakni bermediasi dengan Saudara Jokowi dalam ruang privat, didasari pada beberapa argumentasi, yaitu:
Pertama, isu ijazah Jokowi awalnya adalah isu kemerdekaan berpendapat, hingga akhirnya bergeser menjadi isu hukum setelah Jokowi membuat laporan polisi ke Polda Metro Jaya.
Sehingga, tawaran mediasi bukanlah jalan keluar dalam masalah pidana, karena itu akan mengaburkan hakekat kebenaran yang ditutupi oleh negosiasi dan kompromi.
Kecuali ranahnya hukum perdata, seperti yang bergulir di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman.
Dalam ruang lingkup perdata, forum mediasi justru menjadi metode wajib untuk menyelesaikan sengketa keperdataan.
Kedua, secara filosofis pencarian kebenaran atas isu ijazah palsu Jokowi, bukan lagi menjadi kewenangan Roy Suryo dkk, juga bukan menjadi domain pengacara.
Akan tetapi, saat ini isu ini sudah menjadi milik publik. Tuntutan memperlihatkan ijazah Jokowi sudah menjadi tuntutan rakyat.
Karena itu, adalah tindakan lancang saat kami mengambil porsi itu dan mengkanalisasi atau mengisolasi forum menunjukkan ijazah Jokowi hanya antar sesama pengacara atau terbatas hanya kepada Roy Suryo dkk.
Jika ingin menunjukkan ijazah, maka syaratnya harus di forum publik, dimana segenap rakyat dapat turut pula melihatnya.
*Ketiga,* tawaran mediasi dan menunjukkan ijazah Jokowi dalam forum privat hakekatnya bukanlah obat. Melainkan, racun politik yang sangat mematikan.
Sebab, rakyat tidak akan percaya pada hasil mediasi, baik ijazah dinyatakan asli atau palsu.
Sebaliknya, Roy Suryo dkk akan dicap pengkhianat karena dianggap menutupi kebenaran, dengan menarik persoalan publik ini ke ruang privat.
Disisi lain, Saudara Jokowi bisa bernarasi sepihak dengan mengklaim telah menunjukkan ijazah asli kepada Roy Suryo dkk.
Karena itu, sebaiknya kasus ijazah Jokowi ini diselesaikan di jalur pengadilan.
Karena Jokowi telah menempuh jalur hukum, maka mekanisme penyelesaian kasus ini harus melalui instrumen hukum. Bukan negosiasi dan kompromi.
Lagipula, publik juga sudah paham. Jika kasus ini diteruskan melalui mekanisme hukum, maka akan terkuak seluruh rahasia dibalik berbagai klaim yang selama ini disemburkan oleh Jokowi.
Belum masuk meja pengadilan saja, Kasmudjo mulai jujur dengan menyatakan dirinya bukan dosen pembimbing Jokowi. Dia juga Jujur, tidak pernah melihat ijazah Jokowi.
Saat masuk ke Pengadilan, penulis yakin akan banyak Kasmudjo Kasmudjo lainnya, yang jujur mengungkap hakekat kebenaran.
Masih banyak dosen dan civitas UGM, yang akan mengungkapkan kebenaran di ruang pengadilan.
Dalam kasus Bambang Tri Mulyono saja, banyak terungkap sejumlah kejujuran yang meruntuhkan klaim Jokowi saat sekolah SD hingga SMA 6 (konon, walaupun sebenarnya SMPP).
Saat kasus ini bergulir ke pengadilan, yang wajib pula memeriksa dosen dan otoritas di UGM, Masyarakat yakin seluruh kepalsuan akan terungkap, seluruh kebenaran akan muncul sebagai pemenangnya. ***
Artikel Terkait
Gus Miftah Bela Santri Terduga Penganiaya: Itu Bukan Disiksa, Tapi Spontan Kasih Sayang
Postingan Oegroseno soal Dito Ariotedjo Terima Uang Korupsi BTS Banjir Dukungan
PDIP Tegaskan Bung Karno Lahir di Surabaya, Bukan Blitar
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Makan Biaya Rp9 Miliar