Romo Magnis: Pancasila Terancam di Bawah Bayang-Bayang Otoritarianisme Baru

- Kamis, 18 Desember 2025 | 10:25 WIB
Romo Magnis: Pancasila Terancam di Bawah Bayang-Bayang Otoritarianisme Baru

Dia sempat menyinggung soal polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Itu perlu dibaca kritis, katanya, terutama jika mengingat perlakuan rezim Orba terhadap Soekarno di masa tuanya.

Kekhawatiran akan Demokrasi yang Membusuk

Bicara soal Reformasi, Romo Magnis menyatakan kekhawatiran yang mendalam. Pemberantasan KKN dinilainya gagal. Indonesia sekarang bergerak ke arah oligarki, di mana segelintir elite mengendalikan segalanya. Bencana ekologis, seperti di Sumatra, adalah buah dari kerakusan oligarki ini dan budaya korupsi yang menggerogoti tubuh negara.

Persoalan lain? Biaya politik yang mahal, delegitimasi DPR, dan absennya partai yang benar-benar mewakili buruh, petani, dan rakyat kecil.

Larangan terhadap komunisme, lanjutnya, jangan disamakan dengan pelarangan politik kiri yang memperjuangkan keadilan sosial. Justru otoritarianisme itulah pintu masuk korupsi dan kemunduran. Negara otoriter akan mengalihkan tujuannya dari memajukan rakyat menjadi melayani penguasa.

Debat yang Menghangat

Sesi tanya jawab berlangsung dinamis. Beberapa penanya menyoroti ketimpangan pembangunan di luar Jawa, hilangnya politik kiri, dan relevansi TAP MPR 1966 yang melarang Marxisme-Leninisme. Muncul juga pandangan bahwa Pancasila seharusnya diposisikan sebagai philosophische grondslag (dasar filosofis), bukan ideologi negara.

Menanggapi ini, Romo Magnis membedakan dengan jelas antara Marxisme, Marxisme-Leninisme, dan Marhaenisme. Analisis Marx tentang kapitalisme masih relevan, tapi Marxisme-Leninisme dengan partai revolusionernya justru melahirkan otoritarianisme yang runtuh pada 1991. Bagi Soekarno, Marhaen adalah rakyat kecil tertindas, dan kondisi Indonesia tak bisa disamakan dengan Eropa.

Soal Papua, Romo Magnis menekankan satu kata kunci: mendengar. “Pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi intensitas militer,” ujarnya. Penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan negara semata jelas ditolaknya.

Acara ditutup dengan sebuah refleksi bersama. Ancaman otoritarianisme bukan cuma soal siapa yang berkuasa. Ia juga adalah cermin kegagalan kolektif kita dalam merawat etika politik, demokrasi yang substantif, dan keberpihakan pada keadilan sosial. Nilai-nilai yang sejatinya adalah jiwa dari Pancasila itu sendiri.


Halaman:

Komentar