Pancasila di Tengah Bayang-Bayang Kekuasaan: Sebuah Kuliah Umum yang Menggelitik Pikiran
Suasana di Sekretariat DPC GMNI Jakarta Selatan pada Selasa (17/12/2025) terasa berbeda. Ruang itu dipadati peserta yang antusias menyimak sebuah kuliah umum bertajuk cukup berat: “Filsafat dan Etika Pancasila dalam Bayang-Bayang Rezim Otoritarianisme”. Acara ini digelar atas kerja sama Institut Marhaenisme 27 dengan pengurus daerah GMNI setempat.
Narasumbernya bukan sembarang orang. Filsuf yang sudah tak asing lagi, Romo Franz Magnis-Suseno, S.J., hadir untuk berbagi pandangannya. Rauf, sang Ketua DPC GMNI Jaksel, membuka acara dengan harapan besar. Ia berharap Romo Magnis bisa membedah kondisi bangsa terkini lewat lensa Pancasila, terutama dalam menghadapi potensi kembalinya rezim tiran. Diskusi kali ini dipandu oleh Fajar Martha, seorang penulis.
Sebelum masuk ke materi inti, Dendy Se selaku Direktur Eksekutif Institut Marhaenisme 27 memberikan pengantar yang cukup menusuk. Ia bicara soal krisis etika dan integritas yang melanda para pemangku kebijakan saat ini.
Menurutnya, demokrasi kita terjebak pada prosedur belaka dan kehilangan roh etisnya. Melalui diskusi ini, Dendy berharap ada pemahaman baru yang bisa digali dari Romo Magnis, seorang tokoh yang dikenal konsisten membela kemanusiaan.
Moderator, Fajar Martha, juga tak kalah vokal. Ia menyoroti demokrasi Indonesia yang kian kehilangan substansi. Hilangnya oposisi yang efektif, menguatnya otoritarianisme lewat jalur hukum, serta konflik-konflik agraria dari Pancoran hingga Wadas disebutnya sebagai indikator kemunduran. Fajar lalu mengajak berefleksi, bagaimana sebenarnya memaknai Pancasila di era teknologi dan konsumerisme yang mengubah kesadaran anak muda sekarang.
Pancasila Bukan Ideologi Kaku
Romo Magnis kemudian memaparkan tiga gagasan pokok. Pertama, soal urgensi Pancasila bagi Indonesia. Kedua, keterkaitan erat antara HAM, demokrasi, dan keadilan sosial. Ketiga, mengapa capaian Reformasi terasa terus digerogoti.
Ditegaskannya, Pancasila jangan sampai dipahami sebagai ideologi sempit yang bersifat totaliter. Mengutip Marx, Romo Magnis mengingatkan bahwa ideologi bisa jadi ‘keyakinan palsu’ yang memaksakan satu cara hidup. Pancasila justru berbeda. Ia adalah cita-cita, nilai, dan etika politik yang justru merawat kebebasan dan keberagaman.
“Ini bukti kejeniusan Soekarno,” katanya. Dalam sidang BPUPKI 1945 silam, Bung Karno berhasil merumuskan lima sila sebagai jawaban atas tantangan bangsa yang majemuk. Kelima sila itu, menurut Romo Magnis, berakar pada budaya Indonesia namun selaras dengan prinsip modern seperti HAM dan demokrasi. Bahkan, empat sila di antaranya sejalan dengan Deklarasi Universal HAM. Sila Persatuan Indonesia mencerminkan kesadaran modern tentang negara-bangsa.
Artikel Terkait
Damkar Jakut Evakuasi Bocah yang Terjepit Ritsleting Celana
Ledakan di Perbatasan Kamboja dan Tren Menurunnya Judol di Indonesia: Kaitan yang Mengundang Tanya
KN Pulau Dana Angkut 92 Ton Bantuan untuk Korban Banjir Aceh
Semarak Kupluk Natal dan Sinterklas Warnai Pembagian Ratusan Piring Kasih di Bongsari