Di sisi lain, kedaulatan ekonomi dan sumber daya alam juga diklaim telah dikuras habis. Didu menggambarkan sebuah siklus yang muram: mulai dari menyogok politisi untuk membuat UU, menyuap pengambil kebijakan demi dapat izin, lalu ke bank untuk kredit. Keuntungan yang didapat, diputar lagi untuk menyogok dan menggusur.
Sorotan khusus ia berikan pada kasus Morowali. Di sana, perusahaan asal China disebut mendapat pembebasan pajak, cukai, dan berbagai kewajiban. Bahkan, mereka dijaga oleh oknum-oknum berseragam dari pasukan khusus.
“Lebih parah dari Freeport,” katanya.
Yang memilukan, dari ekspor nikel yang nilainya mencapai 38 miliar dolar AS per tahun, atau setara 500 triliun rupiah, yang tersisa di Sulawesi Tengah hanya sekitar 200 miliar rupiah. Angka yang timpang sekali.
Kekhawatiran di Medan
Lebih mengkhawatirkan lagi, Didu mengungkap sebuah insiden di Ketapang. Ia menyebut tentara kita mundur karena jumlah orang China di lokasi lebih banyak. Cerita ini jelas bikin merinding.
“Saya mulai takut di Indonesia ini karena ternyata tentara kita sudah lari kalau ada orang China datang,” ujarnya.
Ia juga menyindir pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang dianggapnya lebih percaya pada Presiden China Xi Jinping daripada Presiden Prabowo, terutama terkait isu ‘negara dalam negara’ di Morowali.
Seruan Terakhir
Di akhir paparannya, Didu menyampaikan pesan langsung untuk Presiden Prabowo Subianto. Euforia kemenangan, katanya, sudah saatnya ditinggalkan.
“Saatnya bangkitkan kembali nasionalisme dan patriotisme. Indonesia sedang dalam keadaan darurat,” serunya.
Menurut Didu, yang dibutuhkan sekarang bukan lagi wacana, melainkan sebuah operasi nyata untuk mengambil kembali kedaulatan Republik Indonesia.
Artikel Terkait
Live Streamer Resbob Ditangkap, Viral Demi Saweran Berujung Bui
Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel
Bromo Terjepit: Ekonomi Menggeliat, Alam Mulai Merintih
Otoritas Tanpa Kelekatan: Ketika Kepatuhan Anak Hanya Jadi Topeng Jarak Emosional