Seperti apa bentuknya? Area tidur terpisah antara perempuan dan laki-laki, itu wajib. Toilet terpisah dengan penerangan yang terjaga 24 jam. Harus ada jalur yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Pengawasan aktif, mungkin lewat patroli malam berbasis warga, juga perlu.
Dan jangan lupakan paket kebersihan menstruasi, pos kesehatan reproduksi dengan tenaga bidan, serta ruang konseling yang privat. Ini semua adalah komponen esensial.
Yang tak kalah penting adalah siapa yang mengelola. Ketika perempuan dilibatkan dalam struktur pengelolaan posko minimal 30 persen sensitivitas terhadap kebutuhan sesama pengungsi perempuan biasanya meningkat drastis. Konflik soal distribusi bantuan pun bisa diredam. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan, dapur umum yang dikelola kelompok perempuan cenderung lebih rapi, higienis, dan adil dalam membagikan makanan.
Melihat Perempuan Sebagai Pilar Ketangguhan
Namun begitu, pendekatan responsif gender tidak boleh berhenti pada perlindungan pasif. Perempuan harus dilihat sebagai agen perubahan, sebagai pilar ketangguhan dalam mitigasi dan pemulihan.
Di komunitas-komunitas rawan banjir, sebenarnya mereka sudah lama punya pengetahuan lokal yang kaya. Mereka paham pola air, mengenali tanda-tanda alam, dan punya strategi bertahan hidup turun-temurun. Sayangnya, pengetahuan ini sering diabaikan dalam perencanaan formal.
Melibatkan mereka dalam edukasi kebencanaan, pelatihan evakuasi, hingga pengawasan daerah aliran sungai, bisa memperkuat ketahanan lokal secara signifikan. Di Sumatera Utara, kolaborasi semacam ini sudah mulai dilakukan dan menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Pemberdayaan semacam ini juga jadi strategi pencegahan kekerasan. Ketika perempuan punya posisi tawar dan suara dalam pengambilan keputusan, risiko eksploitasi di pengungsian bisa ditekan. Proses pemulihan sosial pun berjalan lebih adil.
Langkah Ke Depan: Dari Darurat Menuju Sistem
Ke depan, urusan gender dalam penanggulangan bencana harus jadi arus utama kebijakan, bukan sekadar respons insidental saat darurat. Pemerintah daerah perlu punya Rencana Aksi Daerah yang konkret untuk perlindungan perempuan dalam bencana. Koordinasi antara Badan Penanggulangan Bencana, dinas pemberdayaan perempuan, dan layanan kesehatan harus diperkuat benar-benar diperkuat, bukan sekadar rapat koordinasi.
Di tingkat nasional, perspektif ini harus diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan kebijakan adaptasi perubahan iklim. Tanpa komitmen sistemik ini, banjir akan terus berulang sebagai peristiwa alam yang dampaknya ditanggung secara tidak setara. Dan seperti biasa, kelompok yang paling rentan akan paling merasakan beratnya.
Banjir mungkin datang secara alamiah, tanpa memilih-milih korban. Tapi sistem dan kebijakan kitalah yang, secara tidak adil, kerap menentukan siapa yang paling terpukul. Ujian keadilan sosial sesungguhnya bukan diukur saat air mulai surut. Tapi dilihat dari bagaimana negara hadir memastikan bahwa setiap langkah pemulihan berjalan dengan aman, manusiawi, dan setara bagi semua.
Artikel Terkait
Inspirasi Kado Natal untuk Rekan Kerja: Dari Tumbler hingga Planner 2026
Kembalinya Kusta di Rumania, Salon Mewah Cluj-Napoca Ditutup Darurat
Tragedi Brentwood: Putra Sutradara Rob Reiner Jadi Tersangka Pembunuhan Orang Tua
Putra Sutradara Rob Reiner Hadapi Dakwaan Pembunuhan dan Ancaman Hukuman Mati