Ketika Banjir Melanda, Perempuan Menanggung Beban yang Tak Terlihat

- Kamis, 18 Desember 2025 | 00:06 WIB
Ketika Banjir Melanda, Perempuan Menanggung Beban yang Tak Terlihat

Banjir itu lebih dari sekadar air yang datang dan surut. Ia seperti cermin retak yang memantulkan ketimpangan sosial yang selama ini kita abaikan. Baru-baru ini, di penghujung 2025, Sumatera Utara dan Sumatera Barat kembali dilanda. Dan seperti biasa, dalam riuh penanganan darurat, suara dan beban perempuan sering kali tenggelam.

Dampaknya bagi mereka tidak proporsional. Ini bukan cuma soal perbedaan biologis, lho. Posisi sosial, ekonomi, dan kultural yang sudah timpang sejak awal, membuat kerentanan mereka berlapis-lapis saat krisis menghantam.

Beban Ganda di Tengah Genangan

Data dari lapangan cukup jelas. Perempuan mengalami apa yang disebut dampak ganda. Mereka terdampak langsung oleh banjir, sekaligus harus memikul tanggung jawab pengasuhan, merawat keluarga, dan menjadi tulang punggung pemulihan sosial setelahnya. Menurut sejumlah laporan, di banyak lokasi pengungsian di Sumatera, perempuan dan anak-anak bisa mencapai 60 persen dari total pengungsi. Ironisnya, justru akses mereka ke layanan yang aman dan layak seringkali paling terbatas.

Risiko di tempat pengungsian itu nyata dan mengkhawatirkan. Kekerasan berbasis gender, pelecehan, hilangnya privasi semua mengintai. Tata ruang pengungsian darurat kerap abai pada kebutuhan spesifik gender. Bayangkan: tenda campur, toilet tanpa pemisah, pencahayaan minim, pengawasan yang longgar. Kondisi itu ibarat membuka pintu lebar-lebar bagi potensi kekerasan.

Belum lagi urusan kesehatan reproduksi yang kerap dianggap sekunder. Kebutuhan mendasar seperti pembalut, air bersih untuk sanitasi, ruang menyusui yang privat, atau layanan darurat untuk ibu hamil, seringkali tak masuk dalam prioritas logistik awal. Perempuan yang sedang haid, hamil, atau menyusui terpaksa bertahan di tempat sempit dan kotor. Dampaknya? Infeksi, komplikasi kesehatan, bahkan trauma psikis yang bisa bertahan lama.

Bagi perempuan penyandang disabilitas atau yang sudah lanjut usia, situasinya jauh lebih pelik lagi. Evakuasi saja sudah jadi perjuangan berat, apalagi bertahan di posko yang desainnya tidak memikirkan aksesibilitas. Mereka seringkali hanya bisa bergantung pada keluarga atau relawan yang sendiri juga sedang terdampak.

Di Balik Kerentanan: Kebijakan yang "Buta"

Akar masalahnya sebenarnya cukup jelas: perspektif gender yang absen dalam tata kelola bencana. Selama ini, penanganan kita cenderung mengklaim diri "netral gender". Namun dalam praktiknya, netralitas semu itu justru bias dan menguntungkan kelompok yang sudah dominan.

Lihat saja bagaimana kebijakan atau SOP penanggulangan bencana kerap disusun tanpa data terpilah tidak ada breakdown berdasarkan gender, usia, atau disabilitas. Alhasil, kebutuhan spesifik perempuan tak pernah terbaca dengan baik dalam perencanaan. Padahal, respons bencana yang abai gender sudah terbukti memicu lonjakan kekerasan, penyakit, dan kemiskinan pascabencana.

Di tengah krisis iklim yang makin sering memicu banjir bandang, pendekatan lama seperti ini jelas tak lagi memadai. Ketidakadilan ini bukan kecelakaan atau nasib malang semata. Ia adalah konsekuensi logis dari kebijakan yang tidak inklusif sejak awal.

Posko Ramah Perempuan: Bukan Sekadar Fasilitas Tambahan

Lalu, solusi mendesaknya apa? Salah satunya adalah menyediakan posko pengungsian yang benar-benar ramah perempuan. Ini bukan lagi wacana atau sekadar pelengkap, tapi sudah jadi standar minimum kemanusiaan.


Halaman:

Komentar