Di Lereng Gunung Berapi Kosta Rika, Racikan Kopi Sumatra Menyapa dari Ujung Dunia

- Kamis, 18 Desember 2025 | 15:42 WIB
Di Lereng Gunung Berapi Kosta Rika, Racikan Kopi Sumatra Menyapa dari Ujung Dunia

Bayangkan, setelah terbang sejauh 20.444 kilometer hampir separuh keliling Bumi melintasi Samudra Atlantik, kami justru disuguhkan racikan kopi Sumatra dan Aceh. Tempatnya? Di Hacienda Alsacia, sebuah perkebunan kopi seluas 240 hektare yang terletak di lereng Gunung Poás, salah satu gunung berapi aktif di Kosta Rika.

Di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut, kami menyeruput blend spesial yang memadukan tiga jenis arabika pilihan: biji terbaik dari Hacienda Alsacia sendiri, kopi Sumatra yang matang sempurna, dan si pekat berbadan tebal dari Aceh. Hasil sangraiannya luar biasa. Rasa yang kaya dan kompleks itu menghadirkan aroma kayu cedar, tekstur seperti sirup, dengan nuansa lemon, mapel, dan manisan jahe yang menggelitik. Benar-benar sebuah perjalanan yang terbayar lunas.

"

Hari itu, Kamis 11 Desember 2025, langit di atas Alajuela cerah membiru dihiasi angin kencang. Itu adalah hari terakhir kami mengikuti Origin Experience 2026. Selama tiga hari, kami berkeliling perkebunan kopi Hacienda Alsacia, menyelami langsung proses dari biji hingga cangkir.

Origin Experience pada dasarnya adalah tur eksklusif untuk menyaksikan sendiri siklus hidup kopi. Mulai dari pembibitan, perawatan pohon, pemanenan, pengolahan, hingga penyeduhan akhir. Di sini, kami bahkan sempat menanam bibit kopi dan mempelajari pertanian berkelanjutan. Intinya, tur ini membawa kita berjumpa dengan orang-orang yang bekerja keras di balik secangkir kopi nikmat yang kita minum sehari-hari.

Lalu, mengapa Kosta Rika yang dipilih?

Negara yang Hanya Menanam Arabika

Di sini, nyaris mustahil menemukan robusta. Hampir seratus persen adalah arabika. Negara seluas 51 ribu kilometer persegi ini punya aturan ketat: petani di sebagian besar wilayahnya hanya boleh menanam varietas arabika. Kebijakan itu sudah berlaku sejak 1989, dikeluarkan oleh Institut Kopi Kosta Rika (ICAFE).

Regulasi ini mungkin salah satu yang paling tegas di dunia, dan punya tujuan jelas: mempertahankan reputasi Kosta Rika sebagai penghasil arabika berkualitas tinggi. Harganya di pasar global memang jauh lebih mahal dibanding robusta, yang tentu menjadi jaminan pendapatan lebih baik bagi para petani lokal.

Soal rasa, arabika memang juara. Profilnya lebih kompleks dan halus, seringkali mengandung nada buah, bunga, atau cokelat. Kadar gulanya hampir dua kali lipat robusta, sementara kafeinnya lebih rendah sehingga rasa pahitnya tidak mendominasi. Tapi, keunggulan ini dibayar mahal. Arabika itu manja. Ia hanya mau tumbuh optimal di dataran tinggi, di atas 1.000 mdpl, dengan suhu dingin. Ia juga rentan terhadap hama dan penyakit, terutama karat daun. Berbanding terbalik dengan robusta yang sesuai namanya lebih tangguh dan bisa hidup di dataran rendah.

Perawatan yang intensif itu berarti biaya produksi yang lebih tinggi. Apalagi di Kosta Rika, yang punya standar jaminan sosial dan perburuhan yang ketat. Pemilik kebun wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya, termasuk buruh musiman dan migran, untuk mendapatkan layanan kesehatan hingga pensiun.

Seperti diungkapkan Marco Sanchez, yang keluarganya memiliki kebun kopi turun-temurun di Santo Domingo. "Harga jual kopi dari sini tidak bisa murah," katanya. Biaya untuk upah dan jaminan sosial para pekerja banyak di antaranya berasal dari Nikaragua dan Panama cukup signifikan. Namun, standar hidup yang baik ini justru yang membuat pekerja seperti Augusto Chamorro dan Cristina Pérez betah kembali setiap musim panen.

Hacienda Alsacia: Lebih Dari Sekadar Perkebunan

Nama "Hacienda" berarti perkebunan besar, sementara "Alsacia" merujuk pada dataran tinggi tempatnya berada. Kawasan seluas 240 hektare di lereng Gunung Poás ini memiliki tanah vulkanik yang subur, sempurna untuk arabika.

Awalnya, Alsacia adalah perkebunan keluarga yang hampir bangkrut diterpa wabah karat daun. Nasibnya berubah total ketika diakuisisi Starbucks pada 2013. Ini menjadi satu-satunya kebun kopi yang dimiliki dan dikelola langsung oleh raksasa coffee shop tersebut.

Misi mereka pun bergeser. Dari sekadar memproduksi kopi, Alsacia bertransformasi menjadi pusat riset dan inovasi kopi global. Tujuannya mulia: mencari solusi untuk melindungi masa depan kopi dunia dari ancaman penyakit dan perubahan iklim.

Caranya? Dengan pendekatan agronomi terbuka. Mereka meneliti varietas baru yang tahan penyakit, mengembangkan praktik pertanian berkelanjutan, dan yang terpenting, membagikan semua temuan serta bibitnya secara cuma-cuma kepada petani di seluruh dunia baik yang menjadi pemasok Starbucks maupun bukan.

"Itulah intinya," ujar Carlos Mario Rodriguez, Kepala Riset dan Pengembangan Global Starbucks, suatu sore di Alsacia. "Memastikan bahwa 10 atau 20 tahun mendatang, kita masih punya cukup pasokan kopi berkualitas."

Selain riset, sejak 2018 mereka juga membuka Visitor Center untuk agrowisata. Dengan melihat langsung prosesnya, diharapkan kesadaran publik tentang pentingnya keberlanjutan industri kopi akan tumbuh.

Memang, kopi bukan sekadar komoditas. Di negara-negara seperti Kosta Rika dan Indonesia, ia adalah penggerak ekonomi, penopang devisa, dan sumber hidup bagi jutaan keluarga. Lebih dari 125 juta orang di dunia bergantung pada industri ini. Uang dari ekspor kopi mengalir langsung ke kantong petani kecil di pelosok desa, menjadi alat pemerataan ekonomi yang efektif.

Kopi menghubungkan petani di pedesaan dengan konsumen di kota-kota besar dunia. Itu sebabnya, pada 2004, Starbucks mendirikan Farmer Support Center (FSC) pertama di Hacienda Alsacia, yang kemudian diikuti sembilan lokasi lain, termasuk di Sumatra.

Pusat Dukungan Petani Hadapi Perubahan Iklim

Farmer Support Center (FSC) berdiri beriringan dengan peluncuran program C.A.F.E Practices sebuah standar pengadaan etis yang mengukur aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan di perkebunan kopi.


Halaman:

Komentar