Tubuhnya terbakar dari dalam. Kain hitam robek, dan dari matanya memancar cahaya putih yang menghancurkan setiap makhluk langit di sekitarnya. Tapi bersama cahaya itu, air matanya jatuh. "Kenapa sekarang... justru saat aku sudah kehilangan segalanya?"
Perjalanan Cahaya
Tahun-tahun berikutnya, dunia berubah menjadi hamparan puing. Manusia bersembunyi, sementara makhluk langit terus menerobos dari celah di angkasa. Dalam pengembaraannya, Malvin bertemu tiga orang yang kelak menjadi keluarganya yang baru: Seraphine, pemanah ulung dengan panah sihir; Kael, lelaki tua pengendali tanah; dan Daren, remaja keras kepala yang kulitnya bisa berubah jadi baja.
Mereka bertahan bersama, melawan dari satu reruntuhan ke reruntuhan lain. Tapi kekuatan Malvin selalu menimbulkan rasa takut. Ada yang menyebutnya penyelamat, ada pula yang menganggapnya makhluk langit yang menyamar.
"Kenapa kau masih menutup matamu kalau itu bisa menyelamatkan kita semua?" tanya Daren suatu malam.
Malvin menjawab dengan berat, "Karena setiap kali aku membukanya, sesuatu mati."
Benteng Astralis
Perjalanan mereka berakhir di Benteng Astralis, kota terakhir umat manusia. Tapi ternyata, benteng itu bukan tempat perlindungan. Para pemimpinnya malah membuat kesepakatan gelap: menyerahkan sebagian manusia sebagai persembahan agar mereka selamat.
Malvin marah besar. "Dewa bukan untuk disembah!" teriaknya. "Mereka datang untuk memperbudak kita!"
Para tetua hanya menatapnya dengan ngeri. Salah seorang berkata, "Cahaya itu... bukan cahaya manusia."
Malamnya, mereka berusaha menangkap Malvin. Kael membantu pelariannya dan terluka parah. Sementara itu, Daren yang diam-diam dipengaruhi bisikan dari celah langit mulai goyah.
"Kau tahu, Malvin?" katanya, suaranya serak. "Mungkin mereka benar. Mungkin kau memang bukan manusia."
Cahaya emas tiba-tiba memancar dari tubuh Daren. Roh dewa telah merasukinya. Ia menyerang Malvin dengan kekuatan mengerikan, pertempuran mereka mengguncang menara. Seraphine menjerit, "Berhenti! Kalian berdua sama-sama manusia!"
Malvin menatap Daren dengan sedih. "Maaf," bisiknya.
Ia membuka matanya sedikit, cukup untuk melepaskan semburan cahaya putih yang menembus dada Daren. Remaja itu terjatuh.
"Ternyata... kau benar-benar manusia," ucap Daren, sebelum napasnya terhenti.
Perang Terakhir
Hari ke-99 sejak retakan pertama. Langit pecah lebih besar dari sebelumnya. Dewa tertinggi turun, bertubuh perunggu dengan empat tangan dan wajah bertopeng obsidian. Sekali hentakan, separuh Benteng Astralis rata dengan tanah.
Seraphine memanah, Kael mengguncang bumi, tapi sia-sia. Malvin maju, pusaka di tangannya bersinar terang bagai matahari.
"Keturunan Michael," gema suara dewa itu. "Wadah yang gagal. Dunia ini bukan milik manusia."
"Bukan," balas Malvin tegas. "Dunia ini milik mereka yang masih berani mencintai."
Ia membuka matanya sepenuhnya. Cahaya putih menyembur, membentuk naga raksasa yang menerjang langit. Pedang pusaka berubah jadi nyala suci. Seraphine berteriak, "Malvin! Tubuhmu tidak akan kuat!"
Ia menoleh, memberinya senyum lembut. "Michael dulu menutup retakan pertama. Aku akan menutup yang terakhir."
Lalu, dengan suara lantang yang menggema di seluruh medan perang, ia berseru, "Atas nama manusia, langit ini kututup!"
Ledakan cahaya putih pun menelan segala sesuatu.
Bintang Malvin
Saat debu akhirnya reda, langit telah utuh kembali. Malvin raib. Di reruntuhan, yang tersisa hanya selembar kain hitam dan pusaka retak yang masih berdenyut lemah. Seraphine berlutut, menggenggamnya erat.
"Dia bukan pewaris malaikat," katanya lirih pada Kael. "Dia manusia biasa yang memilih menjadi pelindung."
Waktu berlalu. Bertahun-tahun kemudian, manusia pelan-pelan membangun kembali dunianya. Mereka menanam, bernyanyi, dan hidup lagi. Dan setiap malam, di antara gemerlap bintang, ada satu cahaya yang bersinar paling terang. Mereka menyebutnya Bintang Malvin.
Orang-orang percaya, jika kau menutup mata di bawah sinarnya, kau akan melihat dunia seperti yang pernah dilihat Malvin: penuh kehidupan dan kehangatan, bahkan dalam gelap sekalipun. Dan kadang, di antara bisikan angin malam, suara lembut seolah terdengar berucap,
"Aku bisa melihat sekarang... dunia ini memang pantas diselamatkan."
Artikel Terkait
Pemerintah Siapkan Tunjangan Rp 2 Juta untuk 16.500 Guru Korban Banjir Sumatra
Megawati Tantang Gubernur DKI Sumbang Rp2 Miliar, Lalu Nyanyi untuk Korban Bencana
Di Lereng Gunung Berapi Kosta Rika, Racikan Kopi Sumatra Menyapa dari Ujung Dunia
Sepuluh Band Kalbar yang Menggebrak Panggung Musik 2025