Mata yang Menutup Langit: Kisah Malvin dan Perang Terakhir Umat Manusia

- Kamis, 18 Desember 2025 | 04:06 WIB
Mata yang Menutup Langit: Kisah Malvin dan Perang Terakhir Umat Manusia

Setiap kali Malvin membuka matanya, langit bergetar. Sejak lahir, cahaya aneh sudah bersemayam di bola matanya cahaya putih yang bukan milik manusia biasa. Tangis pertamanya membuat ruang bersalin mendadak panas, lampu minyak padam, udara bergetar hebat bagai petir yang bisu.

"Matanya... matanya bersinar!" teriak bidan, ketakutan.

Ayahnya buru-buru menutupi mata bayi itu dengan kain hitam, lalu menunduk dalam doa panjang.

"Dia bukan kutukan," bisik sang ibu, lembut namun tegas. "Dia hadiah."

Tapi dunia di luar punya pendapat lain.

Kerajaan Aerwyn saat itu dilanda kepanikan massal. Retakan kecil sudah muncul di langit utara, diikuti cahaya-cahaya aneh yang turun di malam hari. Gereja kerajaan tak lama kemudian menyebarkan maklumat resmi: setiap anak yang lahir dengan mata bercahaya adalah tanda murka para dewa. Mereka harus diserahkan. Atau, dibakar.

Keluarga kecil itu pun memilih kabur. Mereka hidup berpindah-pindah, bersembunyi di balik pepohonan hutan yang dingin. Malvin tumbuh dalam kegelapan yang disengaja, matanya selalu tertutup kain hitam agar rahasianya tak terbongkar. Ia belajar berjalan, berlari, bahkan menenun, semua tanpa pernah membuka mata.

Namun begitu, meski tertutup, matanya tetap melihat. Dunia ia rasakan lewat energi dan bayangan kehidupan lewat warna panas dari napas manusia, cahaya halus dari dedaunan yang tumbuh. Ia bisa merasakan setiap getaran. Bagi Malvin, dunia tidak gelap. Hanya... berbeda.

Rahasia yang Terbakar

Tahun berganti tahun, mereka terus diburu. Biarawan kerajaan tak pernah berhenti mencari "anak bermata langit." Nasib buruk akhirnya datang di suatu malam, saat Malvin menginjak usia sembilan tahun. Para biarawan menemukan persembunyian mereka.

"Buka matanya!" teriak pemimpin mereka. "Kita harus memastikan!"

Ayah Malvin berdiri kukuh di depan pintu. "Anakku buta. Dia bukan yang kalian cari!"

Salah satu biarawan mendorongnya dan menyerbu masuk. Ibunya diseret keluar. Kain hitam di kepala Malvin direnggut paksa. Cahaya kecil menyembur dari sela matanya, cukup untuk mengguncang seluruh ruangan.

Para biarawan itu menjerit ngeri. "Dia anak langit! Bakar dia!"

Kekacauan pun pecah. Ayahnya melawan dengan parang kayu. Ibunya berteriak sambil memeluk Malvin erat-erat. "Tutup matamu, Nak! Jangan buka, apa pun yang terjadi!"

Mereka lari ke hutan basah, dikejar obor yang tak kenal ampun. Di tepi sungai, mereka terpojok. Ayahnya gugur setelah bertarung, tubuhnya habis dilalap obor suci. Ibunya menyelimuti Malvin dengan jubahnya, berbisik pelan di telinganya.

"Kau bukan kutukan. Kau adalah cahaya terakhir manusia. Lindungi dunia ini, Malvin... bahkan jika dunia takkan pernah melindungimu."

Sebelum para pemburu sampai, ia mencium kening anaknya lalu mendorongnya ke dalam arus sungai yang deras. Malvin hanyut, dan jeritan terakhir ibunya terbakar selamanya dalam ingatannya.

Keesokan harinya, ia ditemukan oleh bibinya, Liora, yang tinggal di pinggiran Aerwyn. Sejak saat itu, ia hidup bersama Liora dan sepupunya, Arlen, bocah lima tahun yang riang. Bagi mereka, Malvin hanyalah keponakan buta yang baik hati. Mereka tak tahu bahwa di balik kain itu, ia melihat jauh lebih banyak dari siapa pun.

Kadang, di malam yang sunyi, saat Liora dan Arlen terlelap, Malvin membuka sedikit kain hitamnya dan menatap bintang. Dan setiap kali, bintang-bintang itu berdenyut, seolah menjawab tatapannya.

Malam Langit Pecah

Lalu datanglah malam yang aneh. Angin berhenti total. Burung-burung diam. Malvin merasakan dunia seperti menahan napas. "Bibi," katanya pelan, "sesuatu akan datang."

Liora berhenti menenun. "Kau selalu bilang begitu kalau badai mau tiba."

"Tidak kali ini," jawabnya lirih. "Ini bukan badai."

Dan ia benar. Langit pecah berantakan. Retakan emas membentang di cakrawala, menyala seperti luka raksasa. Dari dalamnya, sebuah mata raksasa terbuka dingin dan tanpa emosi. Makhluk-makhluk bersayap turun membawa cahaya di tangan mereka. Orang-orang berseru memanggil nama dewa, tapi cahaya yang turun justru menghanguskan segalanya.

Bangunan meledak, tanah bergetar. Liora menarik Arlen dan Malvin untuk lari. "Ke belakang rumah! Cepat!"

Mereka berlari di antara kobaran api. Malvin menutup matanya rapat-rapat, tapi tetap "melihat" bentuk-bentuk cahaya kasar dari makhluk langit itu.

Lalu, dari langit, semburan cahaya emas menghantam tepat di tempat Liora dan Arlen berdiri. Malvin hanya sempat menoleh. Dalam sekejap, mereka lenyap tanpa sisa. Dunianya hancur berantakan malam itu.

Di tengah kehancuran, sesuatu jatuh dan mendarat di dekatnya: pusaka perak berbentuk pecahan pedang, berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Saat Malvin menyentuhnya, cahaya menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Keturunan-Ku... akhirnya kau bangun."

Suara itu bergema dalam kepalanya, dalam dan hangat.

"Aku Michael, pelindung manusia. Kekuatanmu adalah warisanku. Bangkitlah, dan lindungi dunia dari murka langit."


Halaman:

Komentar