Informasi yang terungkap dalam podcast juga menunjukkan bahwa "Akun 'Fufufafa' terhubung dengan banyak akun di berbagai platform, termasuk yang menawarkan hiburan seksual, menggunakan email yang sama."
Hal ini tentu saja memicu pertanyaan besar mengenai etika dan tanggung jawab seorang pejabat publik dalam mengelola jejak digitalnya.
Prof. Sulfikar melihat penyangkalan Gibran terhadap kepemilikan akun ini sebagai indikasi tertentu.
"Penyangkalan Gibran terhadap kepemilikan akun 'Fufufafa' kemungkinan karena rasa bersalah dan kurangnya keberanian untuk mengakui," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa "Perilaku di akun 'Fufufafa' juga dipengaruhi oleh sifat dunia digital yang memungkinkan orang bersembunyi dan melontarkan kata-kata buruk tanpa teridentifikasi."
Lingkungan anonimitas daring memang seringkali memicu perilaku yang tidak akan dilakukan seseorang jika identitasnya terbuka.
"Jika akun tersebut bernama Gibran, ia tidak akan berani melakukan tindakan demikian."
Kontroversi "Fufu Fafa" ini bukan hanya sekadar gosip digital, tetapi telah menjadi cermin kompleksitas identitas di era digital dan tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin.
Diskusi ini membuka ruang penting untuk evaluasi ulang tentang standar etika digital bagi pejabat publik serta bagaimana masyarakat harus menyikapi fenomena identitas ganda yang semakin marak di ranah dunia maya.
Sumber: suara
Foto: Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]
Artikel Terkait
Irak Hancurkan Mimpi Piala Dunia Indonesia, Garuda Tumbang 0-1!
Tewas Ditembak OPM, Prajurit TNI Gugur Saat Anjangsana yang Harusnya Damai
Geger! Ratusan Bendera Palestina Berkibar di Patung Kuda, Sorak-Sorai Kutuk Israel
APBN Tergerus untuk Ponpes Al Khoziny? Komisi XI DPR Soroti IMB yang Tak Jelas!