Berbagai laporan investigasi mengungkap lebih dalam. Ada upaya sistematis untuk memperkuat sentimen anti-Muslim, seringkali untuk mengalihkan perhatian dari kekerasan massal di tempat lain. Satu laporan bahkan menemukan bahwa Kementerian Urusan Diaspora Israel mendanai kampanye pengaruh daring yang menyelipkan konten anti-Muslim di antara pesan pro-Israel. Tujuannya jelas: membentuk opini publik agar melihat Muslim sebagai ancaman inheren, sehingga kekejaman di Gaza jadi terasa ‘lebih bisa dimaklumi’.
Para ahli yang mengkaji retorika seputar Gaza berpendapat, Islamofobia adalah inti dari upaya pembenaran ini. Penderitaan Palestina coba diminimalkan dengan membingkai ulang realitas pendudukan sebagai ‘respons wajar’ terhadap bangsa yang digambarkan biadab. Pembela HAM pun telah lama memperingatkan, beberapa kalangan pro-Israel menggunakan Islamofobia untuk mendiskreditkan kritik, mengalihkan pembicaraan dari kejahatan perang yang terdokumentasi, dan menyamakan solidaritas dengan Palestina sebagai ekstremisme.
Media Barat sendiri sering terjebak dalam pembingkaian seperti ini saat meliput Gaza. Menurut laporan Bridge Initiative di Universitas Georgetown, suara-suara Palestina kerap dikesampingkan, sementara narasi yang melayani kekuasaan diutamakan.
Semua ini menunjukkan satu hal: Islamofobia bukanlah kesalahpahaman yang polos. Ia didorong oleh aktor-aktor yang bisa dikenali. Provokator seperti Loomer terus menyebarkan klaim konspiratif, menggambarkan seluruh komunitas Muslim sebagai ancaman keamanan, dan menanamkan narasi palsu ke jutaan pengikut.
Mereka membina audiens yang sudah dilatih untuk curiga. Jadi, ketika seseorang seperti Ahmed al Ahmed muncul sebagai pahlawan, sistem mereka kacau. Narasi harus ditulis ulang dengan paksa.
Begitulah polanya. Saat suatu komunitas sudah direndahkan secara digital, meminggirkan atau menyakitinya secara fisik jadi terasa lebih mudah. Tapi kebenaran punya caranya sendiri untuk menuntut perhatian.
Ahmed al Ahmed tidak berhenti memikirkan latar belakang agama orang-orang yang dia lindungi. Dia bertindak berdasarkan iman, keberanian, dan nurani. Dia diakui sebagai pahlawan, terlepas dari segala upaya untuk mengaburkan identitasnya.
Inilah paradoks menyedihkan yang kita hadapi: ketika seorang Muslim jadi korban, kemanusiaannya dihapus. Ketika seorang Muslim jadi pahlawan, identitasnya yang dihapus.
Islamofobia memang subur di tanah penghapusan dan ketakutan. Ia hidup dari distorsi. Tapi narasi yang dibangun di atas fondasi rapuh seperti itu akan goyah saat dihadapkan pada kebenaran yang sederhana dan membumi. Muslim hari ini adalah bagian dari masyarakat di mana pun mereka berada. Mereka adalah pelajar, dokter, tetangga, dan ya, pahlawan. Keberanian dan belas kasih mereka adalah bantahan langsung terhadap karikatur yang coba dilekatkan oleh fanatisme.
Kalau kita ingin hidup dalam masyarakat yang layak, kebenaran harus lebih kita hargai daripada ketakutan. Kepahlawanan harus lebih berarti daripada kemudahan narasi. Dan martabat manusia harus lebih utama daripada segala kepentingan politik sesaat.
Mesin Islamofobia mungkin masih berderak kencang. Tapi lihatlah, kebenaran-kebenaran kecil mulai menyumbat roda-rodanya.
Artikel Terkait
Wilayah Lebih Luas dari Jawa Tenggelam, Respons Terasa Kecil
Bupati Bekasi Ditangkap KPK Usai Dilantik Tiga Bulan
Bandara Hantu Morowali: Pintu Belakang yang Menggerogoti Kedaulatan
Kiai Didin dan Adian Husaini Dinobatkan sebagai Alumni Terkemuka IPB