Saat Muslim Jadi Pahlawan, Mesin Kebencian Malah Berpaling
Oleh: Omar Suleiman (Imam dan Pendakwah AS)
Krisis punya cara tersendiri untuk mengungkap karakter sejati sebuah masyarakat. Lihat saja apa yang terjadi di Sydney, Minggu (14 Desember) lalu. Saat kekacauan menyerang perayaan Hanukkah di Pantai Bondi, seorang pria bernama Ahmed al Ahmed justru berlari mendekati sumber bahaya. Dia imigran Australia kelahiran Suriah, berusia 43 tahun, dan seorang Muslim. Tindakannya menaklukkan salah satu penyerang dan melucuti senjatanya disebut-sebut telah menyelamatkan banyak nyawa. Tak heran, para pemimpin Australia dan pengamat internasional memujinya sebagai pahlawan.
Namun begitu, reaksi di sebagian sudut internet khususnya kalangan sayap kanan langsung berbeda. Narasi heroik itu seolah tak bisa diterima. Beberapa influencer dan komentator yang kerap menyebarkan Islamofobia tiba-tiba bersikeras, meski tanpa bukti, bahwa Ahmed pasti seorang Kristen.
Laura Loomer, pendukung setia Trump, menulis di X dengan nada yakin:
“Laporan yang kredibel menunjukkan bahwa pria itu sebenarnya adalah seorang Kristen Lebanon atau Koptik. Jangan tertipu oleh propaganda.”
Mereka sepertinya tak sanggup menerima kenyataan sederhana: seorang Muslim mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang-orang Yahudi. Itu terlalu bertentangan dengan pandangan dunia yang mereka bangun.
Di sisi lain, pada hari yang sama, dua mahasiswa ditembak di Universitas Brown. Spekulasi langsung berembus. Beberapa suara di dunia maya bahkan secara terang-terangan berharap pelakunya adalah seorang Muslim. Mereka butuh tragedi itu untuk cocok dengan narasi kebencian mereka. Andai kata terdengar teriakan “Allahu Akbar”, itu akan jadi ‘bukti’ yang pas untuk memutarbalikkan fakta.
Tapi kenyataannya, salah satu korban yang tewas, Mukhammad Aziz Umurzokov, adalah seorang Muslim. Fakta ini nyaris tak disentuh oleh mereka yang begitu bersemangat menyebarkan kesalahan.
Di sinilah letak bahaya Islamofobia modern. Prasangka sudah begitu mengakar, sampai-sampai realitas pun dipaksa menyesuaikan diri. Pahlawan Muslim harus ‘dikristenkan’. Korban Muslim harus dibingkai ulang jadi tersangka. Kebenaran jadi nomor dua, yang penting cocok dengan agenda.
Saya sendiri merasakan dinamika ini. Sebuah klip pendek tentang saya yang dipotong sedemikian rupa masih terus beredar di akun-akun sayap kanan. Tujuannya cuma satu: menggambarkan saya dan keyakinan saya secara salah, lalu memanaskan sentimen anti-Muslim. Begitulah cara kerja kemarahan yang direkayasa. Beberapa detik video tanpa konteks bisa menumbuhkan narasi palsu yang sulit dibendung.
Ini bukan kebetulan, tentu saja. Islamofobia sudah jadi industri politik. Ia hidup dari ketakutan, distorsi, dan upaya terus-menerus untuk merendahkan martabat suatu kelompok. Di Inggris, tokoh seperti Tommy Robinson dari English Defense League membangun seluruh gerakannya dengan menggambarkan Muslim sebagai ancaman bagi Barat, menggunakan fabrikasi dan cerita-cerita pilih-pilih.
Artikel Terkait
KN Pulau Dana Angkut 92 Ton Bantuan untuk Korban Banjir Aceh
Semarak Kupluk Natal dan Sinterklas Warnai Pembagian Ratusan Piring Kasih di Bongsari
Gubernur Pramono Anung Raih Penghargaan untuk Komitmen Keadilan di Jakarta
Edy Mulyadi: Kepercayaan Publik kepada Prabowo di Ujung Tanduk