Dalam banyak keluarga, orang tua masih dianggap sebagai sosok yang paling berkuasa. Ayah dan ibu punya hak penuh untuk mengatur, memutuskan, dan mengarahkan hidup anak. Pola ini sudah berjalan turun-temurun, dianggap lumrah bahkan perlu, demi membentuk anak yang patuh dan berdisiplin. Tapi, pernahkah kita bertanya, apa dampaknya bagi ikatan batin antara orang tua dan anak?
Niatnya mungkin baik. Namun, ketika otoritas dijalankan secara kaku dan sepihak, perlahan-lahan kehangatan itu bisa menguap. Yang tersisa seringkali hanya rasa segan, atau bahkan takut. Komunikasi pun jadi serba terbatas cuma soal perintah dan larangan. Anak mungkin terlihat patuh, tapi di dalam hati, jaraknya bisa sangat jauh. Inilah masalah mendasar yang banyak terjadi: otoritas tanpa kelekatan justru menciptakan jurang.
Otoritas Warisan, Tanpa Refleksi
Tak sedikit orang tua yang mengasuh anak berdasarkan pengalaman masa lalunya sendiri. Mereka dibesarkan dalam lingkungan dimana "orang tua selalu benar" adalah hukum tak tertulis. Ruang untuk bertanya atau berpendapat hampir tak ada.
Masalahnya, dunia sekarang sudah berbeda. Anak-anak tumbuh di era banjir informasi dan kesadaran akan kesehatan mental. Memaksakan pola lama yang otoriter di konteks baru pasti menimbulkan benturan. Anak zaman sekarang tidak cuma butuh arahan, mereka butuh didengar perasaan dan pikirannya.
Otoritas yang tak pernah direfleksikan lama-lama bisa berubah jadi dominasi belaka. Orang tua merasa punya hak mutlak, sementara anak tak punya ruang untuk bernapas, apalagi berbeda pendapat. Akhirnya, kepercayaan emosional anak terhadap orang tuanya sendiri bisa terkikis habis.
Data yang Bicara: Remaja Lebih Nyaman Curhat ke Teman
Berbagai penelitian sudah membuktikan, kualitas hubungan emosional dalam keluarga sangat mempengaruhi kesehatan mental anak. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat peningkatan kasus gangguan mental pada remaja, seperti kecemasan dan depresi. Salah satu pemicunya? Minimnya dukungan emosional dari keluarga.
Studi lain dari UNICEF Indonesia juga menemukan fakta miris. Banyak remaja ternyata lebih nyaman bercerita ke teman sebaya atau bahkan media sosial, ketimbang ke orang tua sendiri.
Mengapa? Bukan karena kurang sayang. Tapi karena mereka kerap merasa tidak didengar, atau takut langsung dihakimi.
Fakta ini menunjukkan, jarak emosional tak selalu berarti tiada cinta. Seringkali, ia muncul dari pola komunikasi yang timpang. Ketika orang tua lebih banyak bicara dan memberi instruksi, anak belajar untuk diam. Bukan karena setuju, tapi karena merasa tidak aman.
Kepatuhan Semu yang Menggerogoti Kedekatan
Di keluarga yang sangat menekankan otoritas, ukuran sukses pengasuhan sering dilihat dari tingkat kepatuhan anak. Anak "baik" adalah yang tidak membantah dan menuruti semua aturan. Sayangnya, kepatuhan semacam ini sering dibangun di atas rasa takut, bukan pemahaman.
Anak mungkin nurut, tapi di dalamnya mengendap perasaan tertekan, marah, atau kesal. Emosi ini tidak hilang; ia cuma dipendam. Saat dewasa nanti, anak yang dibesarkan dengan cara ini berisiko sulit mengekspresikan perasaan atau membangun hubungan yang sehat.
Lebih parah lagi, hubungan orang tua dan anak bisa berubah jadi sesuatu yang sangat formal, tanpa keintiman. Orang tua hadir secara fisik, tapi absen secara emosional. Anak pun memilih menjaga jarak, karena merasa tak ada ruang untuk jadi diri sendiri.
Contoh yang Mungkin Akrab di Sekitar Kita
Kita bisa dengan mudah melihat gejala ini. Anak yang ogah-ogahan pulang ke rumah, remaja yang lebih betah mengurung diri di kamar, atau percakapan yang cuma seperlunya saja dengan orang tua. Semua ini kerap dianggap sebagai "fase biasa", padahal bisa jadi itu tanda hubungan yang sudah renggang.
Atau lihat anak yang berprestasi akademik gemilang, tapi hidup dalam tekanan karena tuntutan orang tua yang tak pernah merasa cukup. Setiap keberhasilan seolah masih kurang, setiap kegagalan langsung disambut kritik. Dalam kasus seperti ini, otoritas tak lagi jadi penopang, melainkan sumber beban psikologis yang berat.
Artikel Terkait
Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel
Bromo Terjepit: Ekonomi Menggeliat, Alam Mulai Merintih
Gatot Nurmantyo Tuding Kapolri Bangkang Konstitusi Lewat Perpol 10/2025
Didu Desak Prabowo Lakukan Operasi Kedaulatan untuk Rebut Indonesia dari Oligarki dan Asing