MURIANETWORK.COM - Transisi kekuasaan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto diwarnai oleh manuver politik yang tajam.
Langkah Kejaksaan Agung yang akhirnya menyentuh pengusaha kontroversial Riza Chalid dalam kasus korupsi Pertamina, dibaca oleh pengamat sebagai sinyal keras dari rezim baru.
Menurut mantan pejabat tinggi ESDM, Said Didu, langkah ini telah memicu "kerisauan" yang signifikan di pihak mantan Presiden Jokowi.
Dalam sebuah Podcast, Said Didu menganalisis bahwa tindakan hukum terhadap Riza Chalid, figur yang selama ini dianggap 'tak tersentuh', bukanlah sekadar penegakan hukum biasa, melainkan sebuah pesan politik yang jelas dari Presiden Prabowo.
Ia menggarisbawahi betapa pentingnya langkah ini.
Selama bertahun-tahun, Riza Chalid dikenal sebagai pemain kunci di balik layar yang mampu selamat dari berbagai rezim.
Fakta bahwa ia kini bisa dijerat hukum di bawah pemerintahan Prabowo, menurut Said Didu, adalah sebuah perubahan besar yang mengirimkan getaran ke seluruh elite politik.
"Riza Chalid aja bisa disentuh, apalagi yang lain. Dan ini Prabowo yang nyentuh," tegasnya.
"Nah, jadi kerisauan Joko Widodo sangat dimaklumi," lanjutnya.
Said Didu bahkan secara terang-terangan mengaitkan dugaan kondisi kesehatan Jokowi yang sempat terlihat di publik dengan tekanan politik ini.
"Itulah saya katakan kerisauan Jokowi yang menyebabkan mungkin beliau sakit seperti yang kita lihat. Itu saya sangat maklumi karena ini air bah akan datang," tambahnya.
'Air bah' yang dimaksud Said Didu adalah serangkaian kasus hukum besar—mulai dari kontroversi ijazah hingga berbagai dugaan korupsi—yang ia klaim semuanya mengarah pada lingkaran kekuasaan Jokowi.
Dengan "benteng" pertahanan yang mulai goyah, pintu untuk membuka kasus-kasus lain dianggap semakin terbuka.
Di tengah dinamika ini, Presiden Prabowo dihadapkan pada sebuah pilihan fundamental.
Di satu sisi, ia kerap menyerukan untuk menghormati Jokowi sebagai pendahulunya.
Namun, di sisi lain, ada desakan publik dan mungkin agenda politiknya sendiri untuk melakukan pembersihan.
Said Didu mengingatkan pada preseden sejarah, di mana penghormatan terhadap pemimpin lama tidak berarti impunitas hukum.
"Pak Harto juga menggantikan Bung Karno menghormati Bung Karno loh. Tapi bukan berarti melindungi hukumnya. Pak Habibi menggantikan Pak Harto tidak bisa menghalangi proses hukum loh," jelasnya.
"Nah itu yang kita harapkan Pak Prabowo. Hormatilah tapi jangan menghalangi proses hukum," katanya.
SUPERIOR! Gambaran 'Kuatnya' Riza Chalid Selama Ini Diduga Dibekingi Jokowi
ULASAN ini dimaksudkan untuk membuka fakta bahwa Muhammad Riza Chalid (MRC) selama ini sangat kuat karena dekat atau dibekingi oleh penguasa (Joko Widodo).
Dugaan tersebut, tergambar dari bagaimana dia dilindungi dalam kasus "papa minta saham" di Freeport.
Fakta menunjukkan bahwa MRC selama ini sangat kuat karena dekat dengan penguasa (Joko Widodo). Berikut kronologinya:
Pertama, 13 Mei 2015, Setya Novanto (SN), Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar bertemu dengan MRC membahas permintaan saham di Freeport dan rekaman pembicaraannya kami peroleh dari Dirut Freeport saat itu (Pak Maroef Sjamsoeddin, saat ini ditunjuk oleh Presiden Prabowo sebagai Dirut BUMN Holding pertambangan MIND.ID).
Dalam rekaman tersebut termasuk ada pengakuan jatah saham untuk Presiden Joko Widodo yang akan “diatur/dikomunikasikan” oleh Pak Luhut Binsar Panjaitan. Tentunya semua sudah dibantah.
Kedua, rekaman tersebut dilaporkan ke Menteri ESDM Pak Sudirman Said yang sedang ditugaskan Presiden untuk menata ulang proses penyelesaian perpanjangan kontrak Freeport.
Kami sepakat bahwa ini harus dilaporkan, tapi sebelumnya harus izin Presiden dan Menteri ESDM melapor ke Presiden, Presiden Joko Widodo setuju. Proses pelaporan kita siapkan.
Ketiga, kami sementara proses buat laporan ke yang berwenang, termasuk ke Mahkamah Kehormatan Dewan DPR, justru kami dikagetkan atas kehadiran MRC sebagai tamu VVIP Presiden Joko Widodo pada pernikahan Putra Presiden Gibran (sekarang Wapres) di Solo, tanggal 11 Juni 2015.
Setelah kejadian itu, sangat terlihat perubahan sikap mantan Presiden Joko Widodo terhadap pelaporan MRC - sering ada signal agar dikendorkan.
Dan selanjutnya MRC sudah sering lihat hadir pada berbagai acara yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.
Keempat, tanggal 16 September 2015, kantor kami, Kementerian ESDM ditembak beberapa tempat dan kami duga bahwa ini adalah bentuk teror kepada kami agar proses pengungkapan kasus "papa minta saham" dihentikan. Sampai sekarang siapa yang menembak tidak terungkap.
Kelima, walau menghadapi risiko mati dan menghadapi perubahan sikap Presiden Joko Widodo, kami terus melanjutkan proses.
Menteri ESDM Pak Sudirman bersama kami tetap konsisten dan nekat melaporkan secara resmi dan menyampaikan potongan rekaman pembicaraan permintaan saham Freeport antara SN dan MRC tanggal 16 November 2015.
Keenam, atas laporan tersebut, sidang MKD DPR mulai dilaksanakan tanggal 3 Desember 2015 dengan penuh tekanan karena sepertinya parpol sudah dapat informasi bahwa Presiden Joko Widodo sudah berbalik, tidak ingin kasus ini dilanjutkan.
Ketujuh, saat proses sidang berlangsung di MKD, dapat “arahan” dari Presiden Joko Widodo agar dipikirkan lagi untuk melanjutkan proses kasus papa minta saham. Tapi kami tetap ngotot bahwa kasus ini harus dibuka.
Karena kami tetap jalan - maka tanggal 7 Desember 2015, Presiden Joko Widodo konferensi pers seakan marah karena namanya dicatut. Padahal di balik itu justru minta kasus ini dihentikan.
Diduga bahwa tekanan untuk menghentikan kasus ini tidak terlepas dari keinginan kasus "papa minta saham" adem saat pesta pernikahan putri Pak SN tanggal 5 Desember 2015 yang rencananya akan dihadiri Presiden Joko Widodo –tapi akhirnya batal karena kami tetap jalankan proses.
Joko Widodo memang pemain watak. Selalu tampil seakan pahlawan padahal yang terjadi sebaliknya.
Kedelapan, saat sidang MKD DPR, kami hadapi banyak sekali tekanan. Bahkan anggota MKD yang mendukung proses ini diganti oleh partai masing-masing.
Kesembilan, terjadi ketegangan tinggi karena kami ingin sidang terbuka, sementara pihak mereka ingin sidang tertutup.
Saat disetujui sidang terbuka, kami minta agar rekaman lengkap percakapan (durasi 1 jam 16 menit) diperdengarkan lengkap.
Saat itu saya sebagai yang ditugaskan Menteri ESDM menangani kasus ini memang sengaja memberikan hanya potongan rekaman dengan durasi 17 menit agar DPR dan rakyat penasaran mendengarkan semua rekaman tersebut.
Akhirnya pancingan tersebut berhasil. Maka terjadilah “keajaiban” dunia - rakyat Indonesia menonton rekaman suara di televisi selama lebih satu jam lewat siaran langsung.
Kesepuluh, saking kuatnya, MRC (karena saat itu diduga sudah dibeking oleh Presiden Joko Widodo), MKD DPR tidak bisa menghadirkan di sidang MKD dan seakan memaklumi.
Sementara di pihak lain, MKD bisa menghadirkan Pak SN dan Pak LBP. Bahkan Ketua DPR, Pak SN mundur sebagai Ketua DPR. Sidang MKD dianggap selesai.
Bukti lain bahwa mereka sudah satu geng dengan Presiden Joko Widodo, terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemulihan kembali SN sebagai Ketua DPR yang sebelumnya mundur saat sidang MKD berlangsung
2. Proses hukum di Kejaksaan Agung terkait kasus "papa minta saham" dihentikan
3. Penghentian (reshuffle) Pak Sudirman Said sebagai Menteri ESDM yang diberitahukan Presiden Joko Widodo 27 Juli 2016
4. Penolakan usulan Menteri ESDM oleh Presiden Joko Widodo (infonya atas permintaan LBP) untuk saya membenahi pertambangan sebagai Dirjen Minerba.
Pertanyaan sekarang, jika MRC masih dibekingi oleh Geng SOP (Solo, Oligarki, dan Parcok) serta Presiden Prabowo masih mengutamakan menghormati Joko Widodo di atas pemberantasan korupsi, maka saya yakin MRC masih akan selamat dan kasus korupsi Pertamina senilai sekitar Rp285 triliun tidak akan menyentuh pelaku utamanya.
Mari kita tunggu!
Semua uraian tersebut adalah fakta, bukan opini dan semua ada jejak digital di media. ***
Sumber: Suara
Artikel Terkait
20 Tahun Dua Standar: Tom Lembong Dihukum, 84 Skandal Gula Rp31,6 Triliun Malah Dibiarkan
Mahasiswa Laporkan Wagub Babel ke Bareskrim Atas Dugaan Ijazah Palsu
TERUNGKAP! Kini Dicekal & Berstatus Buronan, Riza Chalid Ternyata Sempat Menghubungi Adik Presiden Prabowo Sebelum Tersangka
Pakar Paparkan Dua Kesalahan Fatal BPKP Dalam Audit Kasus Tom Lembong