Oleh: Thomas Utomo
PUJI merentangkan tangan dan kaki. Pegal. Ditatapnya bungkusan-bungkusan gula pasir ukuran setengah kilo yang berdiri berjajar memenuhi dua ember besar. Dia belum
mengikatnya.
Matanya melompat ke karung gula di sebelah lutut kirinya.
Tersisa dua puluh kilo belum dibungkusi. Matanya berpindah ke jam bundar yang tergantung bisu di dinding warung.
Permukaannya buram, diselimuti debu. Tak pernah sempat dia membersihkannya. Tapi angka-angka di baliknya masih kelihatan jelas. Pukul 8.46. Warung lebih baik tutup, gumam Puji.
Sedari Isya, hujan terus menjatuhkan diri. Tak ada pembeli lagi. Tapi untuk bangkit dari bangku rendah yang menampung sekaligus menahan bongkahan pantatnya, ada sesuatu memberati. Bukan gumpalan lemak tubuh, melainkan perasaan enggan. Bosan sekaligus malas.
“Maaasss ...!” teriak Puji, memanggil suami.
Diulang beberapa kali, tak ada sahutan. Puji mendengus. Sambil memanggul dongkol, perempuan tambun itu bangkit, bergegas ke ruang dalam. Napas Puji tersekat. Kurnia, si suami, terkapar di kasur lantai.
Artikel Terkait
Ayumi Hamasaki Menyanyi untuk Kursi Kosong di Shanghai
Arumi Bachsin Ungkap Detik-Detik Emil Dardak Banting Setir ke Dunia Politik
Inara Rusli Laporkan Insanul Fahmi ke Polisi, Diduga Jadi Korban Penipuan Status
Richard Lee Dikecam Netizen, Diduga Manfaatkan Bencana untuk Promo Dagangan