Jelang akhir pekan, rupiah justru kehilangan tenaga. Pada penutupan perdagangan Jumat (19/12/2025), mata uang nasional melemah 27 poin atau 0,16 persen, terperosok ke level Rp16.750 per dolar AS. Pergerakannya hari itu memang tak terlalu tajam, tapi cukup mencerminkan kehati-hatian pelaku pasar.
Menurut pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, ada campur aduk sentimen yang mendorong pelemahan "si Garuda". Pengaruhnya datang dari luar dan dalam negeri.
Dari sisi global, perhatian utama tertuju pada data inflasi AS. Indeks Harga Konsumen (CPI) inti AS untuk November ternyata turun ke titik terendah sejak awal 2021. Kabar ini mestinya bisa jadi angin segar, lantaran meredanya inflasi biasanya membuka peluang The Fed untuk memotong suku bunga. Tapi rupanya, pasar tidak serta merta percaya.
"Para pedagang menanggapi data itu dengan skeptis," tulis Ibrahim dalam risetnya.
Alasannya? Data ketenagakerjaan AS masih terlihat solid. Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa penutupan pemerintah AS yang berlangsung cukup lama bisa membuat data CPI November ini agak terdistorsi.
Hari itu, fokus pasar juga menunggu rilis indikator inflasi favorit The Fed, yaitu Indeks Harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi Inti (PCE). Belum lagi laporan sentimen konsumen dari Universitas Michigan. Jadi, suasana menunggu benar-benar terasa.
Geopolitik juga menyumbang ketidakpastian. Presiden AS Donald Trump menyatakan percaya diri bahwa pembicaraan damai untuk Ukraina hampir menemui titik terang. Namun begitu, analis justru lebih khawatir pada langkah-langkah AS yang menyasar minyak Rusia. Dibandingkan blokade terhadap Venezuela, langkah ini dinilai berisiko lebih besar mengganggu pasokan energi global.
Artikel Terkait
Bahlil Buka Suara: Infrastruktur Jadi Penghalang Utama Listrik di Aceh
ADRO Bagi Dividen Interim, Begini Cara Pemula Bisa Ikut Menikmati
Pertamina Gelontorkan 150 Ribu Tabung Elpiji Tambahan untuk Natal di Sulut
Nikel Bangkit Tiga Hari Beruntun, Indonesia Pangkas Pasokan 2026