'Pemakzulan Gibran, Polarisasi Militer, dan Ujian Awal Prabowo'
Oleh: Muhamad Bimas Abidin
Desakan pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka yang digaungkan oleh ratusan purnawirawan TNI membuka babak baru dalam dinamika politik nasional.
Ini bukan sekadar perdebatan konstitusi, tapi menjadi simbol konflik moral antara kelompok reformis militer dan kekuatan kekuasaan dinasti politik.
Salah satu momentum penting adalah mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo, Pangdam III/Siliwangi sekaligus putra dari mantan Wakil Presiden Try Sutrisno tokoh senior yang vokal menolak pencalonan Gibran.
Mutasi ini dianggap sebagai isyarat politik, bahkan oleh sebagian pihak dinilai sebagai bentuk tekanan terhadap keluarga purnawirawan yang kritis.
Berdasarkan laporan (1 Mei 2025), forum purnawirawan menyatakan pemakzulan Gibran layak dilakukan karena pencalonannya melukai etika hukum dan keadilan.
Lebih dari 100 tokoh senior militer hadir, termasuk eks Panglima ABRI dan mantan Menteri Pertahanan.
Forum ini menjadi yang terbesar sejak reformasi dari sisi konsolidasi purnawirawan.
Isu kian rumit ketika muncul dugaan bahwa mutasi Kunto dilakukan atas restu atau arahan mantan Presiden Joko Widodo.
Jika benar, maka netralitas militer yang dijaga sejak reformasi kembali dipertanyakan.
Yang jadi sorotan kini adalah Prabowo Subianto. Sebagai presiden terpilih, Prabowo belum bersuara atas isu ini.
Diamnya Prabowo menimbulkan spekulasi: apakah ia sedang menunggu arah angin politik, berkompromi dengan Jokowi, atau tengah menyusun strategi agar tidak pecah koalisi terlalu dini?
Simulasi skenario menunjukkan bahwa opsi seperti rekonsiliasi elite, penggunaan jalur Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti), atau rotasi halus lebih aman dibanding tindakan ekstrem seperti pemecatan Panglima. Namun yang jelas: Prabowo tidak bisa terus diam.
Ia harus membuktikan dirinya bukan hanya penerus kekuasaan lama, tapi pemimpin yang menjaga konstitusi, netralitas militer, dan stabilitas negara.
Apa Dampaknya Bagi Masyarakat?
Untuk masyarakat awam, isu ini belum terasa sebagai keresahan langsung.
Tapi bila terus dibingkai dengan narasi ekonomi, ketidakadilan sosial, atau simbol politik dinasti, maka keresahan bisa berubah menjadi polarisasi nyata di akar rumput.
Menurut Hendri Satrio, ini adalah kali pertama purnawirawan TNI terbelah secara terang dalam menyikapi posisi seorang wapres. Dan ini bisa berdampak besar bila tak direspons dengan bijak.
Kesimpulan
Pemakzulan Gibran bukan soal personal, tapi ujian etika demokrasi.
Yang sedang diuji bukan hanya seorang wapres, tapi arah reformasi militer, legitimasi hukum, dan kepemimpinan Prabowo.
Jika salah langkah, bisa menjadi krisis awal pemerintahannya.
Tapi jika dikelola dengan jernih, ini bisa jadi titik balik rekonsiliasi nasional. ***
Artikel Terkait
Di Kongres Demokrat, SBY Singgung Cawe-Cawe: Abuse of Power adalah Dosa Terbesar!
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Dapat Info dari KPK, Faisal Basri Sebut Bobby - Airlangga Terlibat Penyelundupan Nikel Rugikan Negara Ratusan Triliun
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto