Paradoks Demokrasi: Dari Harapan Rakyat Menuju Simbol Pengkhianatan
Sejarah politik Indonesia kerap kali menyimpan ironi.
Sosok Joko Widodo, yang dulunya hanya seorang pedagang mebel asal Solo, berhasil menembus dominasi elite Jakarta hingga menjabat sebagai presiden selama dua periode.
Ia hadir membawa citra pemimpin baru sederhana, merakyat, dan jauh dari praktik oligarki yang selama ini menggerogoti republik.
Harapan rakyat membubung tinggi, bahkan Majalah Time pernah menobatkannya sebagai “New Hope” bagi demokrasi Indonesia.
Namun setelah satu dekade berkuasa, bayangan harapan itu perlahan pudar.
Seperti dinding yang catnya mengelupas, kekuasaan Jokowi memperlihatkan wajah aslinya:
Dipenuhi oleh kompromi politik, nepotisme yang mengakar, serta melemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Salah satu titik paling mencolok dari kemunduran tersebut adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kesaksian mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkap bahwa Presiden Jokowi pernah secara langsung memintanya menghentikan penyidikan kasus e-KTP.
Yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Hal serupa juga diungkapkan oleh Sudirman Said, yang mendapat tekanan ketika membongkar skandal “papa minta saham”.
Tak berhenti di situ, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto bahkan menuding Presiden sebagai aktor di balik revisi Undang-Undang KPK.
Sebuah perubahan yang berujung pada dilucutinya kewenangan lembaga antirasuah itu.
Meski tuduhan tersebut belum pernah dibuktikan secara hukum di pengadilan, faktanya, setelah revisi disahkan, kinerja KPK mengalami penurunan drastis.
Data menunjukkan, antara tahun 2015 hingga 2019, KPK berhasil melakukan 87 operasi tangkap tangan (OTT).
Namun setelah UU KPK direvisi pada 2019, jumlah OTT hanya mencapai 31 dalam lima tahun berikutnya.
Bahkan pada 2024, KPK hanya mencatat lima OTT angka yang lebih mencerminkan kegagalan sistem ketimbang keberhasilan penindakan.
Kemerosotan ini tercermin pula dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) global, di mana skor Indonesia menurun ke angka 37 dan terpuruk di posisi ke-99 dari 180 negara.
Bukannya menjadi simbol harapan, demokrasi justru seakan kehilangan arah dan memasuki masa krisis.
Alih-alih menguatkan demokrasi dan keadilan sosial, sejumlah produk hukum strategis di era Jokowi justru dinilai lebih menguntungkan kelompok pemilik modal.
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan revisi UU Minerba adalah dua contoh nyata bagaimana instrumen hukum dipakai untuk memfasilitasi akumulasi kekayaan oleh segelintir elite.
Jika dilihat melalui lensa keadilan distributif ala John Rawls, di mana negara seharusnya melindungi kelompok paling rentan.
Maka kebijakan tersebut justru memperkuat posisi para taipan.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang seharusnya menjadi pilar ekonomi nasional, berubah menjadi ajang bagi-bagi posisi untuk loyalis politik.
Kerugian besar seperti yang dialami maskapai Garuda hanyalah salah satu contoh dari ketidakbecusan dan penyalahgunaan sumber daya publik.
Dalam situasi ini, muncul gelombang masyarakat sipil yang mengajukan tuntutan reformasi melalui 17 8 poin agenda.
Namun, ada satu hal yang absen dari daftar tersebut: pertanggungjawaban langsung dari Presiden Joko Widodo.
Padahal, lembaga internasional seperti Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Telah mencantumkan Jokowi sebagai salah satu pemimpin dunia yang dinilai memperburuk iklim antikorupsi secara global.
Mengabaikan fakta ini sama saja dengan mencatat sejarah tanpa keberanian menghadapi realitas. Sebuah penulisan sejarah yang cacat sejak awal.
Pertanyaannya: mengapa nama Jokowi luput dari tuntutan publik? Apakah publik masih terkungkung dalam trauma kolektif untuk merobohkan narasi “pemimpin rakyat kecil”?
Ataukah ini hasil dari kalkulasi politik yang lebih mengutamakan stabilitas simbolik ketimbang keberanian moral?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih bergema di ruang publik, namun tidak mendapatkan jawaban. Demokrasi kita seolah memilih untuk diam di hadapan pusat kekuasaan.
Filsuf Hannah Arendt pernah menyebut bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap ruang publik.
Maka jika tuntutan rakyat tidak menyasar ke sumber utama masalah kekuasaan, dan hanya berani mengkritik pinggiran, itu bukanlah bentuk keberanian, melainkan kompromi.
Demokrasi seperti itu hanya akan menjadi ritual ramai di jalanan, tapi sunyi dalam substansi.
Sejarah pada akhirnya akan mencatat Jokowi bukan sekadar sebagai presiden dari rakyat kecil, tapi sebagai simbol besar dari kontradiksi republik.
Sebagai pemimpin yang lahir dari harapan rakyat, namun pada akhirnya melanggengkan pola pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Sebuah demokrasi yang dijanjikan, tapi justru dipasung oleh tangan yang semula dipercaya akan membebaskannya.***
Artikel Terkait
Kopda FH Diduga Terima Uang Rp95 Juta untuk Tim Penculik Kacab Bank BUMN
KPU Cabut Aturan soal Data Capres-Cawapres Dirahasiakan
Sempat Bikin Heboh, KPU Akhirnya Batalkan Aturan Baru terkait Ijazah Capres-Cawapres
Polisi Beberkan Motif Pembunuhan Kacab Bank BUMN Ilham Pradipta: Incar Uang dari Rekening Dormant