MURIANETWORK.COM - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menilai vonis empat tahun enam bulan yang dijatuhkan kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong adalah peringatan kepada pihak yang berbeda pandangan dengan pemerintahan yang berkuasa.
Menurutnya mereka yang berseberangan politik dengan penguasa, bisa bernasib sama seperti Tom.
"Ini problematika yang menurut saya jadi peringatan kita semua. Kalau hari ini mereka, besok pagi mungkin kita. Karena hanya sekedar berbeda pandangan," kata Feri di Gedung Fakultas Hukum UI, Salemba, Jakarta pada Senin (21/7/2025).
Dia menilai Tom adalah korban dari political trial atau peradilan politik.
Karena Tom dianggap sebagai lawan politik, dan berseberangan dengan penguasa.
Menurutnya, jika bukan korban peradilan politik, maka menteri-menteri yang lain yang juga mengambil kebijakan impor juga harus diadili.
"Karenya banyak menteri yang juga melakukan kebijakan yang sama soal impor-impor. Lebih banyak lagi, lebih bermasalah lagi," kata Feri.
Adanya indikasi penegakan hukum hanya ditujukan bagi mereka yang bersebrangan dengan politk, juga tergambar dari beberapa kasus yang sempat mencuat.
"Jadi bagi saya banyak kasus yang lebih dahsyat tetapi tidak diurus oleh negara," ujarnya.
Misalnya, kata Feri, kasus private jet Kaesang Pangarep yang terjadi saat ayahnya, Presiden ke 7 Jokowi Widodo masih berkuasa.
"Private jet apa kabarnya? Itu pertanyaan besar bagi penegak hukum seperti KPK juga," kata Feri.
"Kok bisa pesawat jet yang dipakai oleh anak presiden ketika itu, digunakan karena kepentingan bisnis tertentu dari perusahaan tertentu, dianggap bukan gratifikasi. Belajar tindak pidana korupsinya di mana?" katanya mempertanyakan.
Vonis penjara yang dijatuhkan majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Tom menuai kritikan.
Sebab, dalam kasus impor gula itu, hakim mengakui bahwa tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadi Tom.
Selain itu, poin yang memberatkan hukuman Tom juga disorot.
Karena hakim menilai bahwa kebijakan impor gula yang diambil Tom, dianggap menguntungkan ekonomi kapitalis.
Vonis 4,5 Tahun Penjara Tom Lembong Menuai Kritik di Kalangan Ahli Hukum, Hardjuno: Tak Masuk Akal!
Putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong menuai kritik dari kalangan ahli hukum.
Salah satunya datang dari Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, yang menilai bahwa konstruksi hukum dalam perkara ini tidak sepenuhnya sesuai dengan asas-asas dasar hukum pidana.
“Kalau kita bicara kerugian negara, majelis seharusnya memberikan pertimbangan yang lebih rinci dan berbasis hitungan aktual. Tapi yang muncul justru sebatas kutipan teori dan doktrin,” ujar Hardjuno dalam rilis pers Sabtu (19/7/2025).
Ia menyinggung bahwa rujukan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XI/2014 yang menyatakan keuangan BUMN termasuk keuangan negara memang sah, namun tidak cukup dijadikan satu-satunya dasar untuk menjerat seseorang secara pidana.
Dalam putusan majelis, Thomas Lembong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun menurut Hardjuno, terdapat kekosongan argumentasi mendalam soal pembuktian mens rea atau niat jahat dari terdakwa.
“Ini aneh. Dalam hukum pidana modern, orang dihukum itu karena dua unsur terpenuhi: actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat). Kalau mens rea tidak dibuktikan, dasar menjatuhkan pidananya jadi lemah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menyoroti pula posisi diskresi yang dilakukan oleh Tom saat menjabat sebagai Mendag.
Menurutnya, keputusan kebijakan seperti impor gula memang bisa dinilai dari sisi administratif, tapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar pemidanaan.
“Dalam banyak kasus serupa di negara demokratis, seperti Jepang atau Jerman, ketika menteri membuat kebijakan yang kemudian diperdebatkan, itu ranah etik dan administrasi. Bukan pidana. Kita jangan sampai menggunakan hukum pidana sebagai instrumen balas dendam atau kriminalisasi kebijakan,” tegasnya.
Selain itu, Hardjuno juga mengkritik pertimbangan hakim yang menyebut bahwa Tom tidak mengedepankan nilai-nilai demokrasi ekonomi dan Pancasila.
Bagi Hardjuno, pertimbangan normatif semacam itu semestinya menjadi ranah etika politik, bukan menjadi dasar pemberatan pidana.
“Kalau alasannya karena lebih berpihak pada ekonomi kapitalis, itu debat ideologis, bukan argumentasi hukum. Hukum pidana tidak boleh jadi arena perdebatan ideologi,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Hardjuno menyarankan agar lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga peradilan, lebih hati-hati dalam menarik garis antara kesalahan administrasi dan tindak pidana.
Pemisahan yang tegas itu penting agar penegakan hukum tidak keluar dari rel keadilan,” pungkasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
SKANDAL Kuota Haji 2024: Belum Juga Dipanggil KPK, Siapa Bekingan Yaqut?
Jaksa Perlu Seret Erick ke Pengadilan: Diduga Pecat Anak Buahnya Usai Laporkan Korupsi ASDP
Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Bogor
Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!