Jelang Vonis Tom Lembong, Eks Wakapolri: Kasus Gak Jelas, Nggak Ada Barang Bukti

- Jumat, 18 Juli 2025 | 09:50 WIB
Jelang Vonis Tom Lembong, Eks Wakapolri: Kasus Gak Jelas, Nggak Ada Barang Bukti



MURIANETWORK.COM - Eks Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno buka suara terkait kasus dugaan korupsi importasi gula Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Tom Tirkasih Lembong atau Tom Lembong.

Menjelang sidang vonis yang digelar pada Jumat (18/7/2025) hari ini, Oegroseno menyimpulkan bahwa kasus yang menjerat Tom Lembong tidak memiliki kejelasan dalam proses penyelidikan hingga persidangan.

Dia juga menganggap tidak ada bukti-bukti yang kuat selama persidangan sehingga membuktikan Tom Lembong layak untuk dihukum.

"Kasusnya nggak jelas, nggak ada barang bukti, alat buktinya sama keterangan saksi juga cuma dari staf-staf," katanya dikutip dari program Gaspol di YouTube Kompas.com, Jumat (18/7/2025).


Tom Lembong dituntut tujuh tahun penjara dalam kasus ini. Menurut jaksa, Tom terbukti melakukan tindakan untuk memperkaya perusahaan lain terkait kebijakan importasi gula.


Namun, jaksa mengakui bahwa tersebut tidak terbukti untuk memperkaya Tom Lembong.

Oegroseno menilai Tom Lembong layak divonis bebas jika berkaca dari analisanya selama proses penyelidikan hingga persidangan yang dianggap tidak cukup bukti untuk menjerat terdakwa.

Dia menegaskan seluruh keputusan terkait vonis Tom Lembong berada di tangan hakim.

"Kalau hakimnya masih berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan, dan masih Pancasila lah, oonslag (vonis lepas) saja nggak bisa, harus vrijspraak (bebas murni)," tegasnya.


"Bukan saya mendahului hakim, ya tapi saya membaca setiap kali fakta persidangan diungkapkan para saksi itu nunduk oh begitu ya, tapi kalau jaksa sudah nanya lagi kita geleng-geleng kepala," sambung Oegroseno.

Tom Lembong bakal menjalani sidang vonis terkait kasus dugaan korupsi importasi gula tahun 2015-2016 pada Jumat hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Selama empat bulan sidang bergulir, jaksa meyakini Tom bersalah melakukan importasi gula dengan menunjuk sembilan perusahaan swasta untuk menanganinya.



Jaksa juga meyakini bahwa Tom bersalah karena melibatkan koperasi alih-alih perusahaan BUMN.

Di sisi lain, pihak Tom Lembong menepis dakwaan jaksa tersebut dengan menegaskan kebijakan importasi gula tidak menyalahi aturan serta dilakukan demi mengendalikan stok gula di Indonesia saat itu.

Selain itu, pengacara juga menganggap hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) keliru.

"Jadi, ya itu yang cukup syok buat saya, betapa kacau balau ya baik audit BPKP itu sendiri maupun keterangan ahli BPKP kemarin," kata Tom setelah sidang pada 24 Juni 2025.

Dalam perkara ini, Tom Lembong dianggap melakukan perbuatan melawan hukum setelah menerbitkan 21 persetujuan impor gula.

Jaksa menilai kebijakan Tom Lembong tersebut membuat negara rugi Rp578 miliar karena dia dianggap memperkaya pengusaha gula swasta.

Tom Lembong pun dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan.

Jelang Vonis, Ada Konsultan Pajak Kirim Amicus Curiae

Menjelang sidang, konsultan yang tegabung dalam Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Dokumen itu sudah diterima panitera Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis kemarin.

Salah satu isi dari dokumen itu menyoroti soal audit BPKP yang menyatakan negara mengalami kerugian hingga Rp578 miliar akibat kebijakan impor gula Tom Lembong.

Ketua lembaga tersebut, Suhandi Cahaya, menganggap hitung-hitungan BPKP tidak didukung fakta persidangan. Adapun salah satunya terkait Harga Pokok Penjualan (HPP) gula.

Berdasarkan audit, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Tom Lembong untuk melakukan operasi pasar membeli gula kristal putih (GKP) atau gula pasir dari perusahaan swasta seharga Rp9.000 per kilogram dan dianggap BPKP terlalu mahal.


Namun, dalam persidangan, HPP bukanlah harga maksimum dengan bukti harga pembelian GKP dari petani oleh perusahaan BUMN yaitu PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), justru lebih mahal dari HPP.

“Transaksi ini tidak dianggap kemahalan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” tutur Suhandi.

“Karena itu, pernyataan BPKP bahwa selisih harga beli (Rp 9.000 per kilogram) dengan HPP (Rp 8.900 per kilogram) merupakan komponen kerugian keuangan negara tidak mempunyai dasar hukum sehingga tidak valid,” katanya.

Suhandi juga menyoroti soal pandangan BPKP bahwa kekurangan bayar dimasukan sebagai kerugian negara.

Menurutnya, BPKP telah membuat keresahan bagi wajib pajak karena menciptakan ketidakpastian hukum.

Selain itu, pihaknya juga mempersoalkan BPKP yang mengatakan seakan-akan perusahaan gula swasta harus membayar bea masuk impor gula kristal putih, padahal mengimpor gula kristal mentah.

“Perhitungan bea masuk versi BPKP, bahwa impor produk A harus bayar bea masuk untuk produk B, tidak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku, sekaligus bersifat ilusi,” tutur Suhandi

Sumber: Tribunnews 

Komentar