MURIANETWORK.COM - Di tengah sorotan publik terhadap institusi kepolisian, muncul sebuah kisah yang menyejukkan dan memberikan harapan.
Ini adalah cerita tentang Iptu Sri Ulva Baso, seorang perwira polisi wanita (Polwan) yang perjalanannya menjadi bukti bahwa perubahan sejati dimulai dari nurani dan keberanian untuk mengakui kesalahan.
Kisah polwan inspiratif ini bukan dongeng, melainkan sebuah pengakuan jujur yang pernah ia tulis sendiri.
Iptu Ulva, tanpa ragu, membuka masa lalunya yang pernah akrab dengan praktik "amplop"—istilah halus untuk uang suap dari masyarakat.
Namun, pengakuan itu bukanlah akhir, melainkan titik awal transformasinya menjadi salah satu ikon polisi anti korupsi di Indonesia.
Titik Balik di Tanah Papua: Saat Pelatihan Mengusik Nurani
Semua bermula dari sebuah pelatihan yang ia anggap biasa.
Saat itu, Iptu Ulva yang kini menjabat sebagai Paur Fasmat SBST Subdit Regident Ditlantas Polda Sulsel, diutus mengikuti pelatihan "Saya Perempuan Anti Korupsi" (SPAK) di Sorong, Papua Barat.
Materi yang disajikan dalam pelatihan itu menghantam kesadarannya. Ia merasa tersudut oleh kebenaran yang dipaparkan.
Dalam tulisannya di laman SPAK Indonesia, ia mengungkapkan pergulatan batinnya.
"Materi itu membuat saya terpojok. Bayangkan, beberapa hal yang masuk kategori korupsi sudah pernah saya lakukan! Saya menerima ‘amplop’ dari masyarakat yang dilayani unit saya. Tak hanya menerima, saya juga membaginya dengan rekan kerja," tulis Iptu Ulva.
Kesadaran itu membuatnya teringat pada pesan almarhum ayahnya, yang dulu sempat khawatir jika anaknya menjadi polisi akan tergoda praktik korupsi.
Kata-kata itu, ditambah rasa bersalah yang mendalam, mendorongnya pada sebuah keputusan radikal.
Panggilan Telepon yang Mengubah Segalanya
Malam itu di Sorong, dengan hati yang gundah, Iptu Ulva menelepon ibunya di Makassar.
Ia memberikan instruksi yang mengejutkan.
"Tolong semua dijual dan uangnya disumbangkan ke rumah yatim," ucapnya kepada sang ibu, merujuk pada mobil, motor, dan perhiasan yang mungkin dibeli dari uang yang tidak halal.
Meskipun ibunya kebingungan, Ulva berkeras, "Sudah, Bu. Nanti saya jelaskan. Pokoknya jual semua besok."
Langkah drastis ini adalah penebusan pertamanya.
Ia tidak ingin lagi hidup dibayangi oleh harta yang berasal dari sumber yang salah.
Ia bertekad untuk menjadi "Ulva yang baru," seorang polisi yang jujur dan benar-benar mengayomi.
Dari Penyesalan Menjadi Aksi Nyata: Gerakan "Meja Tanpa Laci"
Sekembalinya ke Makassar, Iptu Ulva tidak berhenti pada penyesalan pribadi.
Ia mengubah rasa bersalahnya menjadi aksi nyata yang berdampak luas.
Langkah pertamanya adalah menghadap atasannya di Polsek Panakkukang dan meminta izin untuk menyebarkan semangat anti korupsi kepada rekan-rekannya.
Dari sanalah lahir ide-ide cemerlang yang menjadi simbol perubahan.
Meja Tanpa Laci: Ia menginisiasi penggantian meja pelayanan dengan meja tanpa laci.
Ini adalah simbol kuat untuk menghilangkan ruang fisik dan mental bagi praktik pungutan liar (pungli).
"Meja berlaci dulu diasosiasikan dengan tempat menyimpan uang pungutan liar," jelasnya.
Transparansi Ruang Pelayanan: Ruang layanan masyarakat dirombak total menjadi terbuka tanpa sekat, menciptakan atmosfer yang lebih akuntabel dan ramah.
Kampanye Terbuka: Tulisan besar "Semua Layanan GRATIS dan Tidak Dipungut Biaya" dipasang dengan jelas.
Brosur dan logo SPAK juga menghiasi setiap meja kerja sebagai pengingat konstan akan komitmen integritas.
Awalnya, ada saja rekan yang mencapnya "sok suci".
Namun, dengan dukungan atasan dan keyakinan yang kuat, gerakan ini perlahan diterima dan bahkan diadopsi oleh unit lain, seperti Polres dan Ditlantas Polda Sulsel.
Buah Integritas: Pengakuan dan Hoegeng Awards 2025
Keberanian dan konsistensi Iptu Sri Ulva Baso dalam memperjuangkan budaya anti korupsi dari dalam akhirnya mendapatkan pengakuan tertinggi.
Ia dianugerahi Hoegeng Awards 2025 oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebuah penghargaan prestisius yang diberikan kepada anggota Polri dengan integritas dan dedikasi luar biasa.
Kisah Iptu Ulva adalah pengingat bahwa pahlawan tidak selalu mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga mereka yang berani memerangi musuh dalam diri dan sistem.
Ia membuktikan bahwa satu orang dengan niat tulus bisa menjadi percikan api yang menyalakan semangat perubahan.
"Saya ingin anak saya kelak menikmati Indonesia yang benar-benar bebas dari korupsi," tulisnya.
Sebuah harapan yang kini ia perjuangkan setiap hari melalui teladannya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Istilah Serakahnomic Cocok untuk Keluarga Jokowi
Pengamat: Yang Bisikin Presiden Soal Indonesia Gelap Dibiayai Koruptor Itu Intel Gadungan!
Prabowo Sebut ‘Indonesia Gelap’ Dibiayai Koruptor Tanpa Ada Bukti
Ijazah Jokowi: Kriminalisasi Pengkritik Buktikan Kebenaran? Logika Terbalik di Pusaran Kontroversi!