Satire di Alam Kubur: 'Kau Masih Bohong, Jok!'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Hari itu matahari belum sepenuhnya terbit. Tapi kabar sudah lebih dulu naik ke langit: Presiden ketujuh Republik Indonesia akhirnya wafat.
Orang-orang berduyun-duyun melayat. Pejabat sibuk menyusun kalimat duka yang tepat dan aman.
Media memberitakan secara khidmat, lengkap dengan footage waktu beliau menanam pohon, naik sepeda, dan meninjau harga cabai.
Tapi tidak satu pun media menyinggung ijazah. Selembar kertas yang selama ini disembunyikan lebih rapat dari rahasia negara.
Lalu jenazah pun turun. Masuk ke liang lahat, diiringi doa dan drone. Di atas tanah, tabur bunga. Di dalam tanah, tabur tanya.
Begitu para pelayat mundur tujuh langkah, datanglah dua malaikat. Wajah mereka tak main-main.
Satu membawa buku catatan, satu lagi menggenggam map kuning dengan cap basah: “Pemeriksaan Awal Keabsahan Amal dan Dokumen.”
Malaikat yang berbicara pertama memakai bahasa resmi. Seperti membaca SK pengangkatan.
“Nama?”
“Joko Widodo.”
“Pekerjaan semasa hidup?”
“Presiden Republik Indonesia, dua periode.”
“Pendidikan terakhir?”
“Insinyur… katanya.”
“Oke,” ujar malaikat sambil membuka map.
“Mohon ditunjukkan ijazah asli. Bukan fotokopi. Bukan scan. Dan bukan versi yang baru ‘ditemukan’ mendadak tiga dekade kemudian.”
Jenazah gelagapan. Mulutnya diam, tapi matanya panik.
Ia ingin memanggil staf ahli atau jubir, tapi di sini tidak berlaku protokol istana.
Tidak ada buzzer, tidak ada ajudan, tidak ada paspampres.
Hanya ada tanah, cacing, dan malaikat yang sabar tapi tajam.
“Eee… saya… itu ada di sekolah saya,” bisiknya pelan.
Malaikat mengerutkan alis.
“Sekolahmu bilang tak kenal kamu. Alumni angkatanmu bilang kamu bukan teman sekelas. Dosennya bilang tidak pernah lihat kamu. Kampusnya bilang ijazahmu hasil sablon. Gimana ini, Jok?”
Jenazah terdiam. Ia mencoba tersenyum seperti saat di konferensi pers.
Tapi di sini, senyum tidak menyelamatkan. Tidak bisa pura-pura lupa. Tidak bisa bilang, “Tanyakan ke menteri saja.”
“Maaf,” kata malaikat tegas, “surga tidak menerima kebohongan berjenjang. Kami menerima petani jujur, bukan pejabat penuh sandiwara.”
Jenazah mulai menangis. Bukan karena takut neraka, tapi karena akhirnya ia tahu: selama ini ia hidup dalam skenario besar.
Dimahkotai oleh kebohongan, dijaga oleh manipulasi, disanjung oleh kekuasaan yang dibangun dari lem perekat: ijazah palsu.
“Boleh banding?” tanyanya penuh harap.
“Boleh. Silakan urus surat keterangan dari rektor. Tapi ingat, rektormu sudah wafat 20 tahun lalu. Dan dia masuk surga. Tidak bisa disuap.”
Jenazah tertunduk. Ia tahu, inilah pengadilan tanpa intervensi. Tidak bisa disetting.
Tidak bisa pakai pengacara. Tidak bisa main drama.
Sementara itu, dari jauh terdengar suara gamelan dibunyikan untuk upacara kenegaraan di bumi. Tapi di sini, yang terdengar hanya satu suara:
“Maaf, Jok. Anda gagal verifikasi. Dan yang Anda palsukan bukan hanya ijazah, tapi seluruh kepercayaan rakyat.”
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Visa Kedaluwarsa sejak 2017, Perempuan Rusia dan 2 Putrinya Pilih Tinggal di Gua
Kelakar Cak Imin Ngiler Ingin jadi Komisaris BUMN Buat Biayai Dapil
Ulasan Said Didu soal Pembeking Rizal Chalid Banjir Dukungan Warganet
Penggugat Ijazah Palsu Jokowi Bakal Ajukan Gugatan Baru: Ini Bukan Kiamat!