Ditugaskan ke Papua: Antara Ikhlas Mati dan Dibuang Hidup-Hidup

- Rabu, 09 Juli 2025 | 13:50 WIB
Ditugaskan ke Papua: Antara Ikhlas Mati dan Dibuang Hidup-Hidup


Ditugaskan ke Papua: 'Antara Ikhlas Mati dan Dibuang Hidup-Hidup'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Papua, permata di ufuk timur negeri. Dibilang surga, iya. Dibilang ladang konflik, juga tidak keliru. 


Ia tempat yang elok buat brosur pariwisata, tapi bikin jantung nyeri bila disebut dalam surat penugasan.


Bagi tentara dan polisi, ditugaskan ke Papua adalah soal nyali. Di markas disebut “pengabdian”, tapi di lapangan itu bisa berarti ikhlas mati. 


Betul-betul ikhlas. Bukan ikhlas model kata sambutan di seminar motivasi. 


Tapi ikhlas yang berarti: “Kalau saya tidak pulang, tolong rawat anak istri saya.”


Kawan-kawan berseragam loreng tahu persis: Papua bukan sekadar provinsi, tapi semacam titik tak berbalik—point of no return. 


Mereka naik pesawat Hercules dengan doa di bibir, dan seringkali pulang dalam peti, diiringi lagu wajib nasional dan isak tangis yang hanya didengar sejenak, sebelum tenggelam oleh bisingnya konten TikTok.


Namun, di kalangan birokrat, penugasan ke Papua punya arti yang lebih subtil tapi tak kalah menyakitkan: hukuman administratif.


Iya, benar. Papua dijadikan momok, ancaman yang disisipkan di balik senyum pejabat.


Contohnya? Silakan buka kembali rekaman Tri Rismaharini, Menteri Sosial yang dikenal keras kepala sekaligus keras suara. 


Di suatu kesempatan, ia membentak anak buahnya yang tak becus bekerja—lalu berkata:


“Kalau tidak bisa kerja, saya pindahkan ke Papua!”


Begitu kerasnya kalimat itu sampai gemanya mengalahkan doa pembukaan. Seketika Papua menjadi sinonim dari ‘dibuang hidup-hidup’. 


Seolah-olah tanah yang ditempati oleh jutaan manusia itu cuma tempat hukuman bagi PNS malas.


Padahal Papua bukan tanah kutukan. Bukan buangan. Di sana ada rakyat yang ingin dimanusiakan. 


Tapi dalam lidah kekuasaan, ia bisa berubah jadi tempat pelarian, tempat ancaman, bahkan tempat pelupaan.


Ini ironis. Sebab di satu sisi, negara mengklaim Papua sebagai bagian sah dan integral dari NKRI. 


Tapi di sisi lain, ia diperlakukan bak gudang tua tempat menyimpan pegawai yang dianggap rusak.


Jadi kalau hari ini Anda menerima surat tugas ke Papua, tanyakan pada diri sendiri: apakah Anda sedang dipanggil untuk mengabdi… atau sedang dihukum tanpa sidang?


Dan rakyat Papua? Mereka menonton diam-diam, menyaksikan bagaimana tanah mereka dijadikan panggung drama kekuasaan. Sesekali mungkin mereka bergumam dalam hati:


“Apa salah kami, sampai setiap orang yang tak diinginkan, dikirim ke sini?”


Sayangnya, pejabat di Jakarta terlalu sibuk selfie di acara peresmian, untuk sempat menjawab pertanyaan itu. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar