'Reuni Tanpa Ijazah, Klaim Tanpa Ingatan'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pada suatu sore yang hangat di rumah Anies Baswedan, obrolan hangat mengalir deras.
Tawa pecah, tangan bersalaman erat, mata-mata bersinar seperti menatap cermin masa muda.
Mereka—teman-teman Anies semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada—berkumpul kembali.
Sebagian kini guru besar, sebagian lagi pejabat, pengusaha, atau aktivis sosial.
Mereka datang tanpa membawa berkas, tanpa seremonial formal, dan—terpenting—tanpa satu pun mengacungkan ijazah.
Tak ada yang bertanya, “Mana bukti kau kuliah di sini?” Karena pertanyaan semacam itu terasa janggal, bahkan ofensif, di tengah kedekatan yang terjalin sejak masa remaja intelektual mereka.
Di meja makan, kenangan tentang dosen favorit, tugas akhir, hingga rasa cemas menjelang sidang skripsi mengalir tanpa perlu pembuktian. Ingatan itu terlalu otentik untuk dipalsukan, terlalu jujur untuk dicurigai.
Kontras dengan sebuah adegan lain, jauh dari rumah itu.
Dalam berbagai forum media sosial, sekumpulan orang yang mengaku satu angkatan dengan Presiden Joko Widodo—yang juga diklaim sebagai alumni UGM—muncul dengan membawa satu kesamaan: ijazah.
Ijazah asli, salinan legalisir, foto kopi yang dicap basah.
Mereka bersaksi: “Kami pernah sekelas,” “Kami seangkatan,” “Kami mengenal Jokowi sebagai mahasiswa teknik.”
Tapi yang tak tampak justru sosok Jokowi sendiri dalam kenangan kolektif mereka.
Tak ada cerita tentang tugas kelompok dengannya, tak ada kenangan duduk bersebelahan saat ujian.
Yang ada hanya lembaran kaku dan pengakuan yang disodorkan, seolah mencoba menambal sesuatu yang bolong dalam memori publik.
Ada yang janggal. Sebab dalam budaya akademik—apalagi di perguruan tinggi ternama macam UGM—kenangan akan teman sekelas lazimnya bukan soal ijazah, tapi soal interaksi.
Ijazah adalah hasil administratif, tetapi pertemanan adalah pengalaman eksistensial. Jika pengalaman itu tak ada, dokumen setebal apa pun tak bisa menambalnya.
Anies dan kawan-kawannya tak sibuk membuktikan. Mereka cukup hadir. Dalam diam mereka menyodorkan bukti paling otentik: kehadiran sebagai kenangan.
Mereka menertawakan hal-hal yang tak bisa dipalsukan—seperti dosen yang galak, ruangan panas tanpa AC, hingga kecemasan menghadapi nilai statistik.
Sementara itu, keramaian di luar sana menjadi panggung untuk parade dokumen.
Seolah ijazah lebih penting dari jejak. Seolah keabsahan seseorang ditentukan oleh surat, bukan oleh keterlibatan nyata dalam ruang kelas.
Ironisnya, di era digital yang menuntut transparansi, justru sang presiden yang semestinya paling mudah mengakses dokumen pribadinya, memilih diam.
Yang bergerak adalah orang-orang di sekitarnya. Yang tampil adalah klaim, bukan kenangan.
Dua potret ini memperlihatkan dua dunia. Yang satu lahir dari kedalaman interaksi dan sejarah bersama. Yang lain muncul dari upaya membangun legitimasi lewat benda mati.
Anies tak perlu menunjukkan ijazah. Ia hadir dalam narasi yang hidup. Ia adalah bagian dari sebuah angkatan, bukan sekadar angka dalam arsip.
Sedangkan sosok lain—yang tak kunjung menampakkan kehadiran organik dalam komunitasnya sendiri—terus dihantui oleh pertanyaan: apakah ia benar-benar pernah ada di kelas itu?
Seperti kata pepatah lama Jawa, yen ono, mesthi ono tilase.
Kalau pernah ada, pasti ada jejaknya. Dan jejak paling kuat adalah kenangan orang-orang yang benar-benar pernah bersama. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Dedi Mulyadi Balas Kritikan KPAI: Bisa Lihat Dong Siswa Nangis Cium Kaki Ibunya, Ada Gak di Sekolah?
Mbak Wik Menari Erotis sampai Videonya Viral, Ternyata Namanya Agus
Dian Sandi Siap Terbuka Saat Diperiksa di Polda Metro Soal Dugaan Ijazah Palsu Jokowi
Seret Nama Mantan Menkominfo Budi Arie, JPU Ungkap Uang Koordinasi Judol Capai Rp 171 Miliar