Kasmudjo di Persimpangan: 'Aktor atau Korban Sistem Kampus Yang Menyesatkan?'
Nama dosen sepuh Kasmudjo tiba-tiba mencuat di tengah polemik panjang soal keaslian ijazah Jokowi.
Pertanyaannya kini, apakah Kasmudjo adalah pelaku utama yang membingkai narasi pembelaan terhadap Jokowi, atau sekadar korban tarik-menarik politik dan tafsir publik?
Kasmudjo pertama kali disebut langsung oleh Presiden Jokowi dalam kuliah umum Dies Natalis ke-68 UGM, Desember 2024.
Dalam forum itu, Jokowi menyebut Kasmudjo sebagai dosen pembimbingnya selama kuliah di Fakultas Kehutanan UGM.
Pernyataan tersebut kemudian memantik polemik, karena dalam dokumen skripsi Jokowi yang beredar luas, tercantum nama Prof. Dr. Ir. Achmad Soemitro sebagai pembimbing skripsi—bukan Kasmudjo.
Dikonfirmasi publik, Kasmudjo kemudian mengklarifikasi bahwa dirinya bukan pembimbing skripsi, melainkan hanya pembimbing akademik biasa.
Ia juga menyatakan tak pernah melihat ijazah Jokowi, apalagi mengetahui proses akademik sang presiden secara rinci.
Saat Jokowi datang bersilaturahmi, kata Kasmudjo, tak ada perbincangan apa pun soal ijazah.
Namun penelusuran akademisi dari Universitas Leiden, Dr. Surya Suryadi, memunculkan sejumlah keraguan.
Pertama, gelar akademik Kasmudjo disebut tidak konsisten. Dalam buku sejarah Fakultas Kehutanan UGM tahun 1996, Kasmudjo disebut bergelar B.Sc., bukan Ir.
Kedua, ada kejanggalan tahun kelahiran. Versi yang beredar menyebut ia lahir tahun 1961—yang berarti ia mengajar di UGM sejak usia 15 tahun. Sangat janggal.
Sementara itu, dari sisi karier, Kasmudjo memang tercatat sebagai pengajar bidang hasil hutan non kayu dan mebel, menjabat ketua laboratorium, dan pensiun pada 2014.
Secara logis, ia memang bisa saja mendampingi mahasiswa pada awal 1980-an, termasuk Jokowi.
Tapi apakah posisinya memungkinkan menjadi pembimbing akademik resmi di masa itu? Arsip resmi UGM belum menjawab secara tegas.
Polemik makin panas ketika pengamat digital forensik Risman Hasiholan menuding klaim Kasmudjo sebagai pembimbing skripsi Jokowi adalah hoaks.
Ia bahkan mendorong agar Tim Penegakan Uji Akademik (TPUA) memproses hukum Kasmudjo. Bagi Risman, ketidaksesuaian antara klaim publik dan dokumen resmi merupakan indikasi yang serius.
Melihat dinamika ini, ada dua kemungkinan besar.
Pertama, Kasmudjo menjadi aktor yang secara sadar tampil membela Jokowi, namun tergelincir dalam pernyataan yang multitafsir.
Kedua, ia hanyalah korban dari tekanan politik dan ekspektasi institusional, yang tiba-tiba dibebani narasi pembuktian tanpa diberi alat dan perlindungan cukup.
Dalam sejarah relasi dosen dan mahasiswa di UGM era 1980-an, pembimbing akademik dan pembimbing skripsi adalah dua fungsi berbeda.
Tapi pengaburan istilah ini di ruang publik bisa menjadi alat manipulasi opini. Celakanya, posisi Kasmudjo justru berada di tengah persimpangan itu.
Agar polemik tak terus liar, sudah semestinya UGM membuka seluruh dokumen akademik yang relevan—bukan hanya untuk menjawab rasa ingin tahu publik, tapi juga untuk melindungi integritas ilmiah institusi dan martabat personal dosen-dosen yang terlibat.
Pada titik ini, Kasmudjo bukan hanya sosok yang menjadi bahan silang pendapat, tapi juga potret bagaimana individu bisa terjepit antara loyalitas, memori yang telah renta, dan tuntutan politik zaman knwo.
Apakah ia aktor atau korban, tampaknya hanya arsip UGM dan kejujuran institusional yang bisa menjawab.
👇👇
tags
Artikel Terkait
Respons Menohok Eks Marinir Dicabut Status WNI gegara Gabung Militer Rusia: Maling Duit Rakyat Aman-aman aja Dalam Negeri
Viral Grup Inses Fantasi Sedarah di Facebook, Isinya Menjijikan!
Sumut Juara Masalah Narkoba, Gibran Minta Bobby Tiru Ide Demul: Kirim Anak Bandel ke Pesantren!
Cuma Jenderal Dudung yang Bisa Bikin Hercules Tertunduk dan Minta Maaf, Ini Videonya