Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak dan gas bumi (migas). Namun, kekayaan itu tidak serta merta membawa kesejahteraan yang merata. Dalam praktiknya, pengelolaan migas di negeri ini justru telah lama menjadi ladang subur bagi kepentingan politik, rente ekonomi, dan kekuasaan yang terpusat pada segelintir elite. Istilah “oligarki migas” bukanlah istilah kosong, melainkan deskripsi nyata dari relasi kuasa yang membelit sektor energi kita selama puluhan tahun.
Salah satu tokoh sentral dalam jejaring ini adalah Riza Chalid, pengusaha migas yang sempat mencuat ke publik dalam kasus “Papa Minta Saham” tahun 2015. Meskipun sejak saat itu ia nyaris menghilang dari sorotan media, nama Riza tetap menjadi simbol dari kuatnya cengkeraman kekuatan informal dalam tata kelola energi nasional. Melalui opini panjang ini, kita akan menelusuri bagaimana distribusi migas di Indonesia dikuasai oleh oligarki, peran aktor-aktor kunci seperti Riza Chalid, dan bagaimana sistem ini terus berlanjut—bahkan ketika rezim berganti.
Praktik oligarki di sektor migas bukanlah sesuatu yang baru. Sejak era Orde Baru, kekuasaan atas distribusi dan perdagangan migas dikendalikan oleh kelompok-kelompok terpilih yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Pada masa Soeharto, penguasaan terhadap konsesi migas diberikan kepada kroni-kroni tertentu yang loyal secara politik. Setelah reformasi, meski terjadi desentralisasi politik dan ekonomi, struktur oligarkis ini tetap bertahan, hanya aktor-aktornya yang berubah.
Masuknya pemain-pemain baru dari sektor swasta pasca reformasi, terutama melalui skema importir dan subkontraktor distribusi BBM, membuka ruang baru bagi para broker energi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di belakang layar, menjembatani pengusaha dan pejabat, serta memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang mendapatkan akses terhadap proyek, kuota, dan sumber daya migas nasional.
Riza Chalid adalah nama yang tidak asing di lingkaran dalam bisnis migas Indonesia. Ia dikenal sebagai “the oil trader” yang memiliki jaringan luas dan pengaruh besar dalam urusan distribusi BBM dan proyek-proyek energi strategis. Meskipun tidak pernah memegang jabatan publik, Riza disebut-sebut sebagai sosok kunci dalam penentuan alokasi kuota BBM dan perdagangan minyak selama lebih dari satu dekade.
Puncak eksistensinya di mata publik terjadi pada tahun 2015, ketika ia terlibat dalam skandal “Papa Minta Saham” bersama Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Dalam rekaman percakapan yang diungkap oleh Menteri ESDM Sudirman Said, Riza tampak berperan sebagai perantara dalam lobi perpanjangan kontrak tambang Freeport. Nama-nama besar seperti Presiden Jokowi dan Luhut Binsar Pandjaitan bahkan disebut-sebut dalam percakapan tersebut. Namun, meskipun kasus itu mengguncang publik, tidak ada proses hukum yang secara serius menyeret Riza Chalid.
Sejak itu, ia menghilang dari permukaan. Namun banyak yang meyakini bahwa Riza hanya berpindah ke “bayang-bayang”, melanjutkan peranannya sebagai kingmaker di sektor energi. Dalam dunia bisnis migas, kekuatan tidak selalu berarti tampil di publik—sering kali yang paling kuat adalah yang paling senyap.
Distribusi BBM di Indonesia adalah salah satu titik paling krusial dan sekaligus paling rawan dalam sistem energi nasional. Dalam teori, distribusi ini dikelola oleh Pertamina dan anak usahanya seperti PT Patra Niaga, dengan dukungan regulasi dari BPH Migas dan Kementerian ESDM. Namun dalam praktik, distribusi BBM sering kali menjadi arena permainan rente.
Beberapa modus yang umum terjadi antara lain:
- Pemberian kuota yang tidak transparan: Kuota impor BBM atau distribusi solar industri diberikan tidak semata berdasarkan kebutuhan daerah, tetapi berdasarkan kedekatan politik atau “fee” tertentu.
- Penggunaan perusahaan cangkang: Banyak perusahaan pemenang tender distribusi atau pengadaan BBM hanyalah “bendera” dari aktor-aktor besar yang bermain di belakang.
- Manipulasi volume dan harga: Dalam proses distribusi, ada ruang besar untuk permainan mark-up harga atau penggelembungan volume agar bisa menikmati selisih keuntungan yang sangat besar.
- Kolusi antar elite: Tidak jarang terjadi praktik bagi-bagi proyek antara elite politik, birokrat, dan pengusaha yang terhubung melalui perantara-perantara seperti Riza Chalid.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik kembali diguncang dengan temuan dugaan korupsi di tubuh PT Patra Niaga, anak usaha Pertamina. Kasus ini menunjukkan adanya penyimpangan besar dalam pengelolaan distribusi BBM yang berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah. Meski belum jelas siapa saja yang secara langsung bertanggung jawab, pola-pola yang terungkap sangat mirip dengan praktik lama yang melibatkan para oligark.
Nama Riza Chalid memang belum disebut secara resmi dalam kasus ini, namun dugaan keterlibatan jejaring lama tidak bisa diabaikan. Banyak yang percaya bahwa sistem dan metode yang digunakan dalam korupsi distribusi BBM hari ini adalah “warisan” dari struktur lama yang dibangun oleh aktor-aktor seperti Riza. Ia mungkin tidak lagi aktif secara langsung, tetapi “sistemnya” tetap berjalan.
Rezim Berganti, Sistem Tetap
Salah satu ironi besar dalam tata kelola energi di Indonesia adalah bahwa pergantian rezim tidak otomatis mengubah sistem. Dari SBY ke Jokowi, dan kini menuju Prabowo, oligarki energi tetap bertahan. Bahkan, di beberapa aspek, mereka semakin rapi dan profesional. Jika dahulu pengaturan rente dilakukan secara manual dan kasat mata, kini mereka melibatkan teknologi, akuntansi kreatif, dan legalisasi lewat regulasi yang dibuat atas pesanan.
Apa yang membuat mereka tetap bertahan? Jawabannya ada tiga:
- Politik biaya tinggi: Kebutuhan modal politik yang besar membuat banyak elite tergoda berkompromi dengan para pengusaha rente.
- Kurangnya transparansi dan pengawasan: Lembaga-lembaga pengawas seperti KPK, BPK, dan bahkan DPR sering kali terjebak dalam konflik kepentingan.
- Kultur impunitas: Sejarah menunjukkan bahwa pelaku korupsi di sektor migas nyaris tidak pernah dihukum berat. Ini menciptakan efek jera yang nol.
Membangun Jalan Keluar: Harapan atau Utopia?
Lalu, apakah kita punya jalan keluar dari sistem ini? Jawabannya: mungkin, tapi tidak mudah.
Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Transparansi penuh dalam kuota dan distribusi BBM: Pemerintah harus membuka data kuota, distribusi, dan siapa saja yang mendapat izin impor BBM ke publik secara daring dan real-time.
- Audit independen atas BUMN energi: Termasuk Patra Niaga dan Pertamina, dengan melibatkan auditor luar negeri untuk menjamin netralitas.
- Pembatasan konflik kepentingan: Pejabat publik yang memiliki hubungan dengan perusahaan energi harus mundur dari jabatan atau melepaskan kepemilikannya.
- Reformasi hukum sektor energi: Termasuk penguatan UU Migas agar bisa menghukum bukan hanya perusahaan, tapi juga individu pengendali sebenarnya.
Namun semua ini hanya bisa berjalan jika ada kemauan politik dari pemimpin tertinggi negara. Tanpa itu, oligarki akan terus berkuasa—berubah wajah, tapi tetap menancap akar.
Nama Riza Chalid mungkin sudah lama tidak terdengar, tapi jejak kekuasaannya tetap terasa. Ia adalah simbol dari satu generasi oligarki yang menguasai sektor energi nasional bukan karena kapasitas profesional, tapi karena akses terhadap kekuasaan. Dan ia bukan satu-satunya. Di belakangnya, ada jaringan yang luas—politisi, pengusaha, birokrat, bahkan militer—yang semua menikmati keuntungan dari sistem yang rusak.
Selama sistem itu tidak berubah, selama distribusi migas tetap dikelola dalam gelap, dan selama hukum tumpul ke atas, maka Riza-Riza baru akan terus lahir. Mungkin lebih muda, lebih bersih secara penampilan, lebih digital dalam operasional, tapi dengan motif yang sama: menjadikan energi sebagai ladang kekuasaan, bukan pelayanan publik.
Kini, tugas kita sebagai warga negara bukan hanya mengawasi, tapi juga menolak lupa. Bahwa di balik tiap liter BBM yang kita beli, ada kemungkinan bahwa sebagian dari nilainya masuk ke kantong-kantong yang seharusnya tak berhak—karena sistem kita belum selesai dibersihkan dari bayangan oligarki.
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat politik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Gak Perlu Tes Ulang Semua! CPNS 2025 Bisa Diulang Sebagian dan Skor Berlaku 2 Tahun!
Sindir Jokowi? Hotman Paris Ingatkan Penguasa Kondisi saat Pensiun: Anak Cucu Ngemis-ngemis Minta...
Viral Video Stadion Pakansari Jadi Sarang Mesum, Konten Kreator Bakal Dipolisikan
Kongres PSI Cuma Buang-Buang Duit? Hendri Satrio Ungkap Skenario di Balik Kaesang