'Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar'
Oleh: Buni Yani
Membayangkan konsekuensi pengumuman Bareskrim Polri mengenai keaslian ijazah UGM Jokowi seperti membayangkan semakin gelapnya Indonesia ditimpa gerhana tak berkesudahan setelah tujuh bulan lebih Presiden Prabowo memerintah.
Pengumuman yang sangat menguntungkan Jokowi itu memang sudah diantisipasi publik karena ini hanya memperkuat saja fenomena Parcok yang selama ini telah menjadi rahasia umum.
Pengumuman itu adalah politik tingkat tinggi, perebutan pengaruh, dan unjuk kekuatan melalui simbol-simbol budaya dan unggah-ungguh Jawa.
Pengumuman itu jauh melampaui dampak hukum bagi pihak-pihak yang sedang berperkara seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Bila harus diringkas dengan kalimat pendek, maka pengumuman itu adalah bunyi terompet pemberitahuan kekalahan Prabowo melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian.
Betul, Prabowo tidak berkutik melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian.
Prabowo dibuat impoten dan tak bergigi melawan pengaruh Jokowi yang semakin kuat dan mengakar.
Prabowo bahkan tidak bisa melakukan penetrasi kecil di tubuh kepolisian yang sudah menjadi sekutu utama Jokowi sejak lama, bahkan setelah tujuh bulan Prabowo berkuasa.
Bagi Jokowi, pengumuman Bareskrim atas keaslian ijazahnya adalah show of force bahwa dia masih digdaya dan masih memegang kendali atas kepolisian.
Jokowi sedang melakukan konsolidasi kekuatan sebelum pertempuran yang sebenarnya dengan melakukan tes loyalitas melalui kasus ijazah palsu ini.
Seperti diharapkan Jokowi, akhirnya Sigit Listyo sebagai Kapolri menunjukkan loyalitasnya yang tanpa reserve.
Seperti diharapkan Jokowi, Sigit tidak mungkin melupakan jasanya yang telah menjadikannya Kapolri yang melompati sekian angkatan.
Mengapa Jokowi melakukan ini, karena Gibran sedang berada di ujung tanduk pemakzulan.
Publik menekan Prabowo agar segera mengganti Gibran dengan Wapres yang lebih cakap dan punya kapabilitas.
Di bawah inisiasi purnawirawan TNI, publik ikut mendesak agar Gibran diganti karena telah melakukan perbuatan tercela lewat postingan akun Fufufafa di platform Kaskus. Akun Fufufafa diduga kuat milik Gibran.
Jokowi tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut yang membahayakan posisi Gibran, lalu menjadikan dirinya menjadi sasaran tembak melalui kasus ijazah palsu.
Dalam hal ini, strategi Jokowi menggunakan kasus ijazah palsu sebagai senjata membalikkan keadaan mempunyai dua keuntungan.
Keuntungan pertama, kasus ini akan mengalihkan perhatian publik dari serangan ke Gibran menjadi serangan ke dirinya.
Keuntungan kedua, kasus ini adalah tes loyalitas kepolisian di bawah Listyo Sigit yang selama ini menjadi sekutu utamanya.
Tanda-tanda kepolisian masih berada di bawah pengaruh Jokowi bisa dibuktikan dengan banyaknya kejanggalan dalam uji forensik di Bareskrim. Kepolisian de facto belum berada di bawah kontrol Prabowo.
Pemihakan kepolisian kepada Jokowi yang telah diberi nama Parcok oleh publik sangatlah nyata dan tidak bisa ditutupi.
Pertama, mungkin tanpa disadari oleh Djuhandhani dari Bareskrim, ia memberikan kesan kurang baik ke Egi Sujana yang tidak datang ke Bareskrim untuk memberikan keterangan. Seharusnya Djuhandhani paham bahwa Egi tidak bisa datang karena sakit.
Namun Djuhandhani sama sekali tidak menyebut Egi Sujana sedang sakit, seolah-olah Egi mangkir tanpa alasan yang jelas.
Kedua, Djuhandhani menyebut TPUA tidak terdaftar di AHU Kemenkumham—yang kembali mau tidak mau bisa ditafsirkan bahwa Djuhandhani memang sengaja ingin memberikan kesan negatif terhadap TPUA ke publik.
Menurut UU, tidak semua perkumpulan atau organisasi di tengah masyarakat harus berbadan hukum. Begitu juga dengan TPUA.
Dari sini saja kita sudah tahu bahwa secara tidak sadar Bareskrim tidaklah netral. Bareskrim terkesan mengambil jarak dengan TPUA, tetapi sebaliknya begitu takzim ke Jokowi.
Untuk hal terakhir ini bisa dilihat dari bahasa tubuh dua penyelidik yang mewawancarai Jokowi selama satu jam untuk 22 pertanyaan.
Dari foto yang beredar luas di media sosial, kedua penyelidik seperti tidak percaya diri menghadapi Jokowi.
Penyelidik menunjukkan bahasa tubuh seolah-olah sedang menghadap atasan—hal yang seharusnya tidak terjadi.
Absennya imparsialitas Bareskrim sebagai penegak hukum bisa dikenali lebih jauh dari hasil “uji forensik” yang sangat menguntungkan Jokowi.
Sampel yang dijadikan pembanding untuk membandingkan ijazah Jokowi cuma tiga ijazah lain. Ini sangat mencurigakan karena publik tidak tahu ijazah siapa saja yang dipakai.
Bila ketiga ijazah yang dipakai sebagai pembanding adalah para “alumni” yang selama ini diajak Jokowi untuk reuni—atau sampel dari kolam yang sama—maka sama juga bohong. Seharusnya Bareskrim menyebutkan nama pemilik ketiga ijazah itu.
Tidak cuma itu, Bareskrim juga berani melakukan hal yang sangat fatal dalam konferensi pers yang disaksikan oleh 270 juta rakyat Indonesia itu. Yaitu tidak menampilkan ijazah asli Jokowi yang diklaim telah diuji forensik.
Seharusnya Bareskrim menampilkan ijazah Jokowi itu, sama seperti mereka menampilkan alat-alat bukti dalam kasus-kasus lainnya.
Publik bertanya-tanya mengapa Bareskrim hanya menampilkan fotokopi ijazah di layar, bukan ijazah asli dalam bentuk fisiknya.
Hal paling penting dari semua kejanggalan di atas adalah Bareskrim tidak menampilkan hasil uji forensiknya.
Seharusnya Bareskrim membuka ke publik bagan lengkap mengenai unsur kimia uji karbon ijazah Jokowi yang menunjukkan usia kertas ijazah dan hal-hal lain yang terkait. Begitu juga dengan hasil analisis kandungan kimia berbagai tipe tinta yang dipakai dalam ijazah.
Namun itu tidak dilakukan oleh Bareskrim. Publik dipaksa untuk percaya begitu saja terhadap absennya data ilmiah dalam pengujian ini.
Bareskrim menampilkan banyak sekali dokumen untuk mendukung klaimnya bahwa ijazah Jokowi memang asli.
Bareskrim menunjukkan ke publik fotokopi daftar alumni, bundel milik Achmad Sumitro, bundel KPU DKI Jakarta, bukti setor SPP Jokowi, dan banyak lagi.
Namun mau ratusan bahkan ribuan dokumen yang ditunjukkan ke publik tidak akan pernah berarti apa-apa karena Bareskrim tidak menunjukkan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli.
Bareskrim dan Polri harus paham bahwa publik tidak meragukan Jokowi pernah kuliah di UGM. Yang diragukan adalah apakah Jokowi punya ijazah yang sah melalui prosedur yang sah.
Apakah ijazah Jokowi setelah diuji forensik berasal dari tahun 1985, apakah foto yang dipakai pada ijazah adalah foto Jokowi sendiri—bukan punya Dumatno seperti dicurigai publik, apakah diperkenankan mengenakan kacamata pada foto ijazah pada tahun 1985, apakah banyak kejanggalan pada skripsi Jokowi sudah diteliti dengan seksama, dan banyak lagi pertanyaan yang masih menjadi misteri.
Pendek kata, banyaknya data yang tidak diungkapkan—atau memang sengaja disembunyikan—Bareskrim menimbulkan semakin banyak teka-teki mengenai ijazah Jokowi.
Publik curiga bahwa absennya ijazah asli Jokowi dalam konferensi pers itu dan tidak hadirnya data-data saintifik mengenai hasil uji labfor adalah strategi untuk menghindari penelitian terbuka terhadap ijazah Jokowi yang memang bermasalah.
Karena di persidangan Gus Nur dan Bambang Tri, juga di persidangan perdata di Solo yang sedang berlangsung, Jokowi sangat menghindar dari menunjukkan ijazahnya secara terbuka.
Lumpuhnya pemerintahan Prabowo dalam menangani dugaan ijazah palsu Jokowi karena ketidakmampuannya menguasai Parcok adalah serial kedua dari tragedi memalukan ini.
Seharusnya Prabowo gerak cepat melakukan pergantian besar-besaran di tubuh Polri untuk menghindari macetnya kasus-kasus yang berhubungan dengan Jokowi.
Pada reshuffle kabinet mendatang, penyegaran di tubuh Polri harus dilakukan segera di samping mengganti semua menteri titipan Jokowi.
Tanpa itu, Prabowo terkesan seperti bebek lumpuh. Semakin lama Prabowo mengulur-ulur waktu melakukan pembenahan, semakin kuatlah Jokowi, semakin intensiflah dia melakukan konsolidasi, semakin tampaklah matahari kembar itu telah menimbulkan gerhana yang membuat Indonesia semakin gelap.
Kondisi ini tidak saja buruk bagi pemerintahan Prabowo, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan segera.
Memang tidak sederhana menangani dilema pelik mengenai Jokowi yang sudah berjasa mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Tapi soalnya bukan di sana.
Prabowo harus sadar bahwa dia hanya berhutang budi ke rakyat, bukan ke Jokowi yang sudah 10 tahun menjadikan Indonesia menjadi negara gagal.
Semoga Prabowo bisa kembali memakai akal sehatnya dalam mengurus negara yang selalu ia cintai.
Kini rakyat berharap besar kepadanya untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan Jokowi selama 10 tahun. ***
Artikel Terkait
Lebaran Idul Adha Bareng! Muhammadiyah dan Pemerintah Kompak, Libur Panjang Siap Menanti
Bareskrim Sebut Ijazah Jokowi Asli, Rocky Gerung: Persoalannya Bukan di Bendanya, tapi di Kepemilikan
Viral Rekaman Suara Guru SMPN 3 Depok Saat Lecehkan Siswi Bocor, Durasi 1:30 Detik Beredar di Sosial Media
Anggaran Sewa Private Jet KPU Capai Rp46 Miliar dari Dana APBN