REVISI mendadak atas mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan strategis Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD, yang kemudian dibatalkan hanya dalam waktu satu hari, menjadi sorotan tajam.
Meski dijelaskan sebagai langkah teknis demi kepentingan organisasi, publik tidak bisa menutup mata dari dimensi sosial-politik yang lebih luas terutama di tengah situasi transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam dunia politik, persepsi adalah bagian strategis kekuasaan. Ia membentuk opini publik yang dapat memperkuat legitimasi, atau sebaliknya, menimbulkan ketidakpercayaan. Ketika mutasi perwira tinggi sekelas Kunto dilakukan dan kemudian direvisi dalam waktu singkat tanpa penjelasan substansial yang meyakinkan, persepsi publik pun bekerja.
Apalagi Letjen Kunto adalah putra dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden dan mantan Panglima TNI yang saat ini menjadi salah satu purnawirawan yang bersuara lantang terhadap proses politik yang cacat, termasuk mengusulkan agar Gibran Rakabuming Raka mundur dari jabatan Wapres terpilih.
Maka wajar jika publik menaruh curiga, dugaan dari adanya “cawe-cawe” sisa-sisa kekuasaan dalam tubuh TNI.
Namun, muncul pula kabar yang belum terkonfirmasi bahwa batalnya pencopotan Letjen Kunto tak lepas dari sikap Presiden terpilih Prabowo Subianto yang tidak menyetujui keputusan tersebut.
Jika kabar ini benar, maka hal itu patut dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan sah pula secara konstitusi. Sebab dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden adalah Panglima Tertinggi atas TNI dan Polri, dan segala bentuk keputusan strategis pertahanan tidak bisa dilepaskan dari restu pemimpin tertinggi negara.
Di sisi lain, publik tahu bahwa Prabowo bukanlah orang asing dalam dunia militer. Sebagai mantan Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad, Prabowo tentu memahami kompleksitas dinamika internal militer.
Pengalaman pahit yang ia alami pasca-1998, ketika diberhentikan secara mendadak tanpa alasan yang jelas dan nyaris tanpa pembela, pasti meninggalkan bekas sejarah tersendiri. Dan mungkin, pengalaman itulah yang membentuk cara pandangnya hari ini, lebih bijak, lebih tenang, dan lebih tegas dalam melihat dinamika serupa yang menimpa junior-juniornya.
Jika benar Prabowo ikut mencegah pencopotan Letjen Kunto, itu justru menjadi cermin bahwa ia tidak hanya memimpin dengan kuasa, tetapi juga dengan empati. Bahkan Gus Dur, Presiden keempat RI yang dikenal tegas dan jujur, pernah mengatakan bahwa Prabowo adalah orang yang ikhlas dan penolong. Barangkali dalam peristiwa ini, nilai-nilai itu sedang diperlihatkan.
Dari sisi pertahanan nasional, semua ini menjadi ujian penting bagi TNI apakah ia tetap menjadi alat negara yang netral, profesional dan tak tunduk pada tarik-menarik kepentingan kekuasaan? Ataukah ia akan kembali terseret dalam konflik politik sipil yang bisa menggerus kepercayaan rakyat dan mengingkari demokrasi dan reformasi 1998.
Dalam setiap transisi kekuasaan, rakyat hanya meminta satu hal dari TNI setialah pada rakyat dan konstitusi, bukan pada kepentingan sesaat. Karena di titik itulah kehormatan sejati seorang tentara diukur.
Dalam setiap transisi kekuasaan, rakyat hanya meminta satu hal dari TNI setialah pada rakyat dan konstitusi, bukan pada kepentingan sesaat. Karena di titik itulah kehormatan sejati seorang tentara diukur.
Sikap itu sejatinya telah menjadi jiwa dari doktrin dasar TNI sejak masa revolusi kemerdekaan. Dalam sejarahnya, TNI dibentuk bukan semata sebagai alat negara, tetapi sebagai kekuatan rakyat bersenjata yang berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Salah satu nilai dasar yang menjadi semboyan kehormatan TNI adalah “Setia kepada Negara, Pimpinan yang Sah, dan Rakyat”. Motto ini lahir dari nilai historis bahwa tentara bukan alat kekuasaan, melainkan alat negara yang lahir dari rahim rakyat, dan karena itu kesetiaannya harus tetap berpijak pada konstitusi serta aspirasi rakyat.
Kesetiaan tentara kepada pemimpin bukan berarti membabi buta, melainkan kesetiaan yang cerdas berlandaskan hukum, etika, dan komitmen pada demokrasi. Sebab sejarah telah menunjukkan, ketika tentara tunduk pada ambisi kekuasaan, maka yang lahir bukan stabilitas, melainkan ketakutan.
Kini, di tengah perubahan kekuasaan nasional, saatnya TNI kembali mempertegas jati dirinya sebagai tentara rakyat yang berani, setia, dan tidak dapat dibeli oleh siapapun kecuali oleh kebenaran dan kehendak konstitusi.rmol.id
Oleh: Agusto Sulistio
Penulis adalah mantan Ketua FKPPI, PC. Candisari Kota Semarang, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Aroma Politik di Balik Batalnya Mutasi TNI: Buntut Matahari Kembar?
MBG Rawan Dikorupsi, Prabowo: Ini Jadi Sasaran Manusia Serakah dan Jahat
Aroma Jokowi Cawe-cawe Pencopotan Letjen Kunto Arif Wibowo Sangat Kuat
Jokowi Lapor Soal Tudingan Ijazah Palsu ke Loket Kehilangan, Publik Salfok: Apa yang Hilang?