MIRIS! 10 Tahun Dipimpin, Bank Dunia Mencatat Warisan Terbesar Era Jokowi: 172 Juta Orang Indonesia Hidup Miskin

- Rabu, 30 April 2025 | 16:30 WIB
MIRIS! 10 Tahun Dipimpin, Bank Dunia Mencatat Warisan Terbesar Era Jokowi: 172 Juta Orang Indonesia Hidup Miskin




MURIANETWORK.COM - Kondisi perekonomian Indonesia saat ini mendapat sorotan tajam setelah Bank Dunia merilis data terbaru yang menyebutkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.


Angka ini mencengangkan, setara dengan sekitar 172 juta jiwa dari total populasi Indonesia yang diperkirakan mencapai 285 juta orang pada 2025.


Temuan ini kontras dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), yang dalam beberapa tahun terakhir menyebut tingkat kemiskinan Indonesia berada di angka 9%.


Perbedaan mencolok inilah yang menjadi sorotan utama dalam perbincangan publik dan kalangan akademisi.


Mereka mengungkapkan bahwa perbedaan standar pengukuran antara pemerintah Indonesia dan Bank Dunia menjadi akar ketimpangan angka ini.


Dalam berbagai parameter statistik, Indonesia cukup kreatif dengan mengeluarkan ukuran-ukuran sendiri, padahal standar dunia sudah ada.


“Memang dalam berbagai parameter statistik, Indonesia cukup kreatif dengan mengeluarkan ukuran-ukuran sendiri, padahal standar dunia sudah ada,” kata Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina Jakarta dikuti dari channel Youtube Hersubeno, Rabu 30 April 2025.


Sementara, indeks demokrasi, kebebasan pers, korupsi, hingga lingkungan hidup semuanya pemerintah buat versi sendiri. Termasuk soal kemiskinan.


Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan berbasis pendapatan harian.


Untuk kategori lower middle income (pendapatan menengah bawah), standar yang digunakan adalah USD 3,65 per kapita per hari.


Namun, sejak Indonesia resmi masuk kategori upper middle income, standar tersebut naik menjadi USD 6,85 per kapita per hari.


Konversi kasar dengan kurs Rp16.800/USD menunjukkan standar baru ini setara dengan sekitar Rp114.960 per orang per hari, naik signifikan dari standar sebelumnya.


Dengan standar inilah Bank Dunia menghitung bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.


Sebaliknya, BPS masih menggunakan standar yang lebih rendah dari USD 3,65, sehingga menghasilkan angka kemiskinan nasional yang lebih kecil, yakni 9%.


Jika menggunakan standar USD 3,65 saja, angka kemiskinan Indonesia itu 15,9%, jauh di atas angka resmi BPS.


Artinya, standar BPS memang lebih rendah daripada standar internasional manapun.


Penggunaan standar pengukuran yang tidak sesuai dapat menyesatkan dalam pengambilan kebijakan.


Jika datanya tidak valid, ada kecenderungan kebijakan yang dihasilkan juga tidak tepat sasaran.


Kita berpikir bahwa semua orang sudah sejahtera, padahal masih banyak yang hidup susah.


Kecenderungan pemerintah untuk menampilkan angka-angka yang tampak baik, demi citra positif di mata rakyat dan dunia internasional, hanya memberi kesan lebih indah dari warna aslinya.


Sementara, klaim Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2023, bahwa rasio biaya logistik terhadap PDB (logistics cost to GDP) berhasil ditekan dari 24% menjadi 14% selama 10 tahun pemerintahan.


Namun, setelah ditelusuri, ternyata angka 24% memakai data World Bank, sedangkan angka 14% pakai data Bappenas yang tidak memasukkan biaya logistik ekspor-impor.


“Setelah ditelusuri, ternyata angka 24% memakai data World Bank, sedangkan angka 14% pakai data Bappenas yang tidak memasukkan biaya logistik ekspor-impor. Jadi, membandingkan dua data yang cara hitungnya berbeda,” ujar Wijayanto Samirin.


Jadi, jelas itu membandingkan dua data yang cara hitungnya berbeda.


Sebut saja contoh, bagaimana permainan angka bisa membuat realitas tampak lebih baik dari kondisi sebenarnya.


Bahaya terbesar dalam hidup bukan ketika kita gagal mencapai target tinggi, tetapi ketika kita puas dengan target rendah atau data yang tidak akurat. Dan tentunya, ini akan sangat fatal dampaknya.


Oleh karena itu, laporan Bank Dunia ini membuka mata bahwa warisan ekonomi era Jokowi selama 10 tahun tidak sepenuhnya seindah narasi resmi.


Meski pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur kerap dibanggakan, masalah kemiskinan ternyata masih mendera mayoritas rakyat Indonesia.


Data ini menjadi pengingat bagi pemerintah berikutnya untuk jujur terhadap data, agar kebijakan yang lahir benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat, bukan sekadar mempercantik angka.


Sumber: PorosJakarta

Komentar