Pemerintah Hujani Insentif ke Masyarakat, Diskon Tarif Listrik hingga BSU, Ekonomi RI Mau Anjlok?

- Senin, 26 Mei 2025 | 07:10 WIB
Pemerintah Hujani Insentif ke Masyarakat, Diskon Tarif Listrik hingga BSU, Ekonomi RI Mau Anjlok?


MURIANETWORK.COM - Pemerintah menyiapkan berbagai insentif untuk masyarakat, mulai diskon tarif listrik hingga bantuan tunai.

Insentif tersebut bertujuan menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan perekonomian nasional, terutama selama periode libur sekolah di bulan Juni–Juli 2025.

Pertama, diskon transportasi yang mencakup diskon tiket kereta api, diskon tiket pesawat, serta diskon tarif angkutan laut selama masa libur sekolah.

Kedua, potongan tarif tol dengan target sekitar 110 juta pengendara dan berlaku pada Juni-Juli 2025.

Ketiga, diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama bulan Juni dan Juli 2025 yang ditargetkan bagi 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik di bawah 1.300 VA.

Keempat, tambahan alokasi bantuan sosial berupa kartu sembako dan bantuan pangan dengan target 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk bulan Juni-Juli 2025.

Kelima, Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau UMP, serta guru honorer.

Keenam, perpanjangan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi pekerja di sektor padat karya.

Keenam stimulus yang saat ini sedang difinalisasi dan rencananya akan diluncurkan pada 5 Juni 2025. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pemberian insentif ini memperlihatkan pemerintah mulai khawatir terhadap melemahnya daya beli masyarakat.

"Ini mencerminkan adanya kekhawatiran (pemerintah) terhadap melemahnya daya beli masyarakat," kata Yusuf kepada Tribunnews, Minggu (25/5/2025).

Menurutnya, ini dinilai bukan bentuk insentif biasa, tetapi bisa dilihat sebagai respons terhadap tekanan konsumsi domestik yang tak kunjung pulih setidaknya sejak tahun lalu.

Yusuf menjelaskan, pada triwulan II tahun ini hampir tidak ada momen musiman yang biasanya mendongkrak belanja masyarakat seperti Ramadan atau Lebaran.

Artinya, kata dia, potensi perlambatan konsumsi rumah tangga sangat besar bila tidak diintervensi pemerintah. Sinyal ini sudah terlihat dari data penjualan ritel yang stagnan.

"Jadi, paket insentif ini memang terlihat sebagai langkah darurat untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak anjlok lebih dalam," ujar Yusuf.

Menurut dia, efektif atau tidaknya insentif ini untuk mendongkrak daya beli masyarakat akan sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan implementasinya.

Bantuan seperti subsidi upah dan bantuan pangan dinilai bisa langsung dirasakan.

"Namun, insentif seperti Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) tiket pesawat cenderung menyasar kelompok menengah ke atas yang relatif tidak mengalami penurunan daya beli sebesar masyarakat bawah," ucap Yusuf.

"Jadi, insentif semacam itu bisa tidak terlalu efektif jika tujuannya adalah merangsang konsumsi secara luas," jelasnya.

Tak Mampu Dongkrak Daya Beli

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira menilai besaran Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang ideal seharusnya mencapai Rp 1 juta per pekerja bagi mereka yang bergaji Rp 3,5 juta per bulan.

"Idealnya 30 persen atau setara Rp 1 juta untuk pekerja gaji Rp 3,5 juta. Jika subsidi upahnya di bawah Rp 600 ribu per bulan, maka daya dorong ke konsumsi rumah tangga bakal terbatas," kata Bhima kepada Tribunnews, Minggu (25/5/2025).

Sayangnya, pemerintah telah menyatakan bahwa BSU kali ini tidak akan sebesar saat pandemi Covid-19, yang kala itu mencapai Rp 600 ribu per bulan.

Bhima juga mengatakan bahwa BSU perlu diimbangi dengan pengendalian harga kebutuhan pokok dan transportasi perumahan, sehingga daya beli pekerja bisa terjaga.

Selain itu, pemerintah dinilai wajib mengikutsertakan pekerja informal agar bisa masuk ke skema subsidi upah ini.

"Pelajaran saat pandemi Covid-19 kemarin, pekerja informal tidak mendapat subsidi upah karena pemerintah masih berbasis data BPJS Ketenagakerjaan," ujar Bhima.

Selain itu, Bhima menyebut pemerintah seharusnya memberlakukan diskon tarif listrik kepada pelanggan rumah tangga dengan daya mencapai 2.200 Volt Ampere (VA).

"Diskon tarif listrik dilanjutkan merupakan hal yang positif asalkan golongannya sampai 2.200 VA, bukan hanya di bawah 1.300 VA," kata Bhima.

Ia menjelaskan bahwa banyak rumah tangga dengan daya 2.200 VA yang sebenarnya dihuni oleh penyewa rumah dan kos-kosan karyawan.

Mereka disebut termasuk tergolong kelas menengah dan membutuhkan dukungan insentif tarif listrik juga.

Bhima memandang uang yang biasanya dibelikan token listrik, bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lain seperti membeli baju, sepatu, dan membayar cicilan utang.

"Jadi, ada perputaran uang di masyarakat yang bantu peningkatan omzet sektor UMKM di daerah," ujar Bhima.

Ekonomi RI Melambat

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 hanya 4,87 persen.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, jumlah tersebut berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) pada triwulan I 2025, atas dasar harga berlaku sebesar Rp 5.665,9 triliun, dan atas dasar harga konstan Rp 3.264,5 triliun.

"Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 1 2025 adalah sebesar 4,87 persen, bila dibandingkan dengan triwulan 1 2024 atau secara year on year," kata Amalia dalam Konferensi Pers, Senin (5/5/2025).

Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I tercatat lebih rendah dibanding triwulan IV-2024 yang tumbuh 5,02 persen secara tahunan atau (year on year/YoY).

Amalia menyatakan, ekonomi Indonesia jika dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2024 terkontraksi sebesar 0,98 persen. 

Pertumbuhan ekononomi ini juga lebih rendah dibanding triwulan I tahun 2024 yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,11 persen secara YoY.

"Pertumbuhan ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan triwulan I 2024 yang tumbuh 5,11 persen," jelas Amalia.

Sementara itu, Amalia menyebut bahwa pelambatan pertumbuhan ekonomi ini sejalan dengan pola yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

"Secara quartal to quartal, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya di setiap kuartal ke satu itu relatif selalu lebih rendah dibandingkan dengan kuartal keempat tahun sebelumnya," ungkap Amalia.

Sumber: tribunnews

Komentar