Elite Purnawirawan TNI Terpecah Soal Pemakzulan Gibran, Pengamat: Berpengaruh Kesolidan TNI

- Kamis, 17 Juli 2025 | 06:10 WIB
Elite Purnawirawan TNI Terpecah Soal Pemakzulan Gibran, Pengamat: Berpengaruh Kesolidan TNI


Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mengemuka, dan kali ini merambat ke lingkungan para purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengamat intelijen dan geopolitik nasional, Amir Hamzah, menyatakan bahwa perpecahan pendapat di kalangan elite purnawirawan TNI atas isu ini bukan sekadar dinamika politik biasa, melainkan bisa berdampak langsung terhadap psikologi dan kesolidan internal di tubuh TNI aktif.

Menurut Amir Hamzah, fenomena ini menjadi sangat menarik karena para purnawirawan TNI dalam sejarahnya kerap menjadi kekuatan moral dan politik yang diperhitungkan. Mereka sering kali berfungsi sebagai jembatan antara militer dan sipil, terutama dalam transisi atau dinamika politik nasional. Namun, kali ini yang terjadi adalah polarisasi tajam di antara mereka.

“Ada kelompok purnawirawan yang menilai Gibran sebagai simbol keberlanjutan dinasti politik Jokowi dan menganggap kehadirannya sebagai Wapres cacat etik dan konstitusional. Di sisi lain, ada yang justru membelanya karena menilai serangan politik terhadap Gibran adalah bagian dari destabilitasi terhadap pemerintahan Prabowo ke depan,” jelas Amir Hamzah kepada wartawan, Rabu (16/7/2025)

Kelompok purnawirawan yang mendukung proses hukum terhadap Gibran umumnya berasal dari kalangan yang selama ini bersikap kritis terhadap Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Beberapa di antaranya terafiliasi dengan kelompok “Petisi 100”, eks tokoh reformasi militer, dan figur yang dikenal punya jejaring dengan oposisi sipil.

Menurut mereka, Gibran menjadi Wapres melalui celah hukum yang dimungkinkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Mereka juga mengaitkannya dengan dugaan intervensi kekuasaan dalam proses pemilu, sehingga mendorong pemakzulan sebagai langkah korektif terhadap demokrasi Indonesia.

“Isu pemakzulan bukan sekadar soal Gibran pribadi, ini simbol perlawanan terhadap pelemahan konstitusi dan etika kekuasaan. Kalau dibiarkan, TNI sebagai institusi yang lahir dari semangat reformasi bisa kehilangan kepercayaan dari rakyat,” kata Amir.

Namun tak sedikit pula purnawirawan yang justru menolak ide pemakzulan. Mereka berpendapat bahwa Gibran telah terpilih secara sah melalui mekanisme pemilu yang diakui oleh KPU dan Mahkamah Konstitusi, serta dilantik secara konstitusional. Bagi kelompok ini, narasi pemakzulan justru dianggap sebagai upaya untuk menggagalkan rekonsiliasi nasional dan menghambat stabilitas politik pasca-pemilu.

Bahkan, beberapa mantan perwira tinggi secara terbuka menyatakan bahwa pembahasan pemakzulan di parlemen hanya akan memperpanjang konflik horizontal, dan menempatkan institusi TNI dalam posisi rentan bila terbawa arus politisasi.

Amir Hamzah mengingatkan bahwa meskipun purnawirawan secara formal sudah tidak berada dalam struktur komando, namun mereka masih memiliki pengaruh moral dan sosial terhadap generasi militer aktif.

“Jangan remehkan pengaruh perpecahan ini. Prajurit-prajurit aktif melihat dan membaca pernyataan mantan jenderal mereka. Bila tidak dikelola dengan bijak, ini bisa memicu kegamangan loyalitas, kebingungan, bahkan ketegangan internal yang mempengaruhi disiplin dan netralitas prajurit,” tegas Amir.

Dia juga menyoroti pentingnya TNI aktif menjaga jarak dari dinamika politik pemakzulan. Menurutnya, jika TNI terseret dalam agenda elite purnawirawan yang terpecah, maka risiko terjadinya fragmentasi kekuatan di internal tentara bisa menjadi kenyataan yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

Amir Hamzah merekomendasikan agar para purnawirawan TNI dapat menahan diri dan menjaga narasi publik mereka agar tidak membebani institusi TNI aktif. Selain itu, ia meminta tokoh-tokoh sipil dan parlemen untuk tidak memanfaatkan figur militer sebagai tameng politik dalam isu pemakzulan ini.

“Stabilitas negara bukan hanya soal politik elektoral, tapi juga integritas institusi strategis seperti TNI. Jangan mengulang sejarah kelam ketika TNI terpecah akibat tarik-menarik kekuasaan sipil,” pungkasnya.

Foto: Amir Hamzah (IST)

Komentar