Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR, Setya Novanto alias Setnov terkait kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Putusan penting ini mengurangi vonis Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun atau 12 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini, yang tercatat dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, diketok oleh majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Surya Jaya pada 4 Juni 2025. Sebelumnya, Setnov divonis selama 15 tahun denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Kabul.Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp500.000.000,00 subsidair 6 bulan kurungan,” tulis MA dikutip Monitorindonesia.com, Rabu (2/7/2025).
Selain itu, Setnov juga diminta membayar uang pengganti sebesar AS$7,3 juta yang dikurangi Rp5 miliar dari yang sudah dititipkan ke KPK. Dan sisa uang pengganti sebesar Rp49 miliar, jika tidak dibayar maka akan dipidana selama 2 tahun.
Pidana tambahan lain berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun, setelah Setnov selesai menjalani hukuman. Sanksi ini lebih ringan dari sebelumnya, di mana Setnov dicabut hak politiknya selama 5 tahun.
Adapun putusan MA tersebut teregistrasi pada 6 Januari 2020 dan baru diputus pada 4 Juni 2025. Artinya, butuh 5 tahun lebih bagi MA untuk memutus perkara ini. "Registrasi 6 Januari 2020, Putus 4 Juni 2025, Usia Perkara 1984, lama memutus 1956," tulis MA lagi.
Kendati, peting digaris bawahi bahwa putusan ini menekankan, meski ada pengurangan hukuman, Setov tetap terbukti bersalah atas perannya dalam kasus mega korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah tersebut.
Novum
Dalam permohonan PK, Maqdir mengungkapkan ada 5 keadaan baru atau novum yang menjadi salah satu pertimbangan Setnov mengajukan PK.
Novum pertama yaitu surat permohonan sebagai Justice Collaborator tanggal 3 April 2018 dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto), yang menerangkan bahwa tidak ada fakta Pemohon PK (Novanto) menerima uang sebesar AS$3,5 juta melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Kemudian, novum kedua yaitu merujuk pada surat permohonan sebagai Justice Collaborator tanggal 8 April 2018 dari Irvanto.
Menurut Maqdir, dalam surat permohonan itu diterangkan bahwa tidak benar Setya Novanto menerima uang sebesar AS$3,5 juta melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang diserahkan lewat money changer.
"Novum P-3, surat permohonan sebagai Justice Collaborator, tanggal 31 Mei 2018 dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang membuktikan bahwa Pemohon PK tidak pernah menerima uang sebesar 3,5 juta dollar AS melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan diserahkan melalui money changer," kata Maqdir.
Novum keempat adalah rekening koran Bank OCBC Singapura North Branch nomor 503-146516-301 periode tanggal 1 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014 atas nama Multicom Investment, Pte, Ltd, perusahaan milik Anang Sugiana Sudihardjo.
Menurut Maqdir, hal ini membuktikan jika Novanto tidak pernah menerima uang sebesar AS$2 juta yang dikatakan berasal dari Anang Sugiana Sudihardjo melalui Made Oka Masagung.
Kemudian, novum kelima merupakan keterangan tertulis agen Biro Federal Investigasi AS, Jonathan Holden tanggal 9 November 2017 dalam perkara United States of America melawan 1485 Green Trees Road, Orono, Minnesota dan kawan-kawan.
Dalam keterangannya, Jonathan Holden menyatakan telah melakukan wawancara dengan Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem, membaca dokumen hasil penyidikan dari KPK dan memeriksa beberapa rekening Johannes Marliem di Amerika Serikat.
"Dalam pemeriksaannya terhadap rekening Johannes Marliem (Direktur Biomorf Lone LLC), Jonathan Holden menerangkan bahwa tidak menemukan fakta atau pengakuan ada pengiriman uang sebesar AS$3,5 juta dollar AS kepada siapapun," katanya.
Adapun kasus korupsi e-KTP sendiri melibatkan pengaturan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun dan intervensi dalam penentuan pemenang lelang.
Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Setya Novanto bersama beberapa anggota DPR RI lainnya, seperti Muhammad Nazaruddin dan Anas Urbaningrum, terlibat dalam kesepakatan pembagian anggaran.
Disepakati bahwa 49% dari total anggaran, atau sekitar Rp 2,5 triliun, akan dialokasikan untuk "fee" yang dibagikan kepada pejabat Kemendagri, anggota Komisi II DPR, serta Setya Novanto dan Andi Narogong sendiri.
Khusus untuk Setya Novanto dan Andi Narogong, jatah mereka disebut mencapai 11% dari anggaran yang dibagikan, setara dengan Rp 574,2 miliar.
Dengan adanya pengurangan vonis dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara, waktu bebas Setya Novanto akan bergeser lebih cepat. Jika dihitung dari awal masa penahanan pada tahun 2017 dan mempertimbangkan vonis terbarunya, Setya Novanto diperkirakan bebas pada pertengahan tahun 2029. Perhitungan ini belum termasuk potensi remisi atau hak pembebasan bersyarat yang bisa didapatkan oleh narapidana.
Sebagai perbandingan, sejumlah terpidana lain dalam kasus korupsi e-KTP, seperti mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, juga mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari penjara lebih cepat dari vonis asli mereka.
Irman, yang divonis 12 tahun, dan Sugiharto, yang divonis 10 tahun, sama-sama ditahan sejak 2016 namun sudah bebas pada 2022 berkat pembebasan bersyarat.
Sumber: monitorindonesia
Foto: Hukuman Setya Novanto (Setnov) dikurangi dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun dan pencabutan hak politik dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Artikel Terkait
Menaker Kaget: Lebih Dari Satu Juta Lulusan Universitas Ternyata Menganggur!
BKPM Temukan Potensi Investasi Rp2.000 T Menguap di Era Jokowi
Perekat Nusantara Ultimatum Gibran: Mundur atau Dimundurkan!
Bila Akal Sehat Bicara: Gibran Sangat Layak Dimakzulkan!