OLEH: AHMADIE THAHA
ISRAEL kembali belanja. Bukan baju musim panas di Tel Aviv atau kurma khas Ramadan, tapi bom. Ya, bom. Dan bukan sembarang bom, tapi guidance kitsseharga 510 juta dolar (Rp. 8,25 Triliun) dari toko senjata favoritnya: Amerika Serikat. Diskon? Tidak disebutkan. Mungkin pakai sistem cicilan, atau bundling dengan “bonus” Hellfire Missiles.
Tentu saja, pembelian ini bukan untuk festival kembang api 17 Agustus --Israel tidak ikut-- melainkan untuk “persiapan menghadapi ancaman masa depan.” Begitu bunyinya. Kalau dibaca perlahan sambil ngopi, “masa depan” itu sepertinya maksudnya: Iran. Si tetangga jauh yang sejak dulu akrabnya seperti Tom & Jerry -- lengkap dengan gergaji, panci, dan kadang, rudal.
Padahal baru beberapa minggu lalu dunia sempat bernapas lega. Gencatan senjata Israel-Iran pada 25 Juni 2025 terasa seperti rehat iklan dalam film horor. Tapi rupanya, seperti semua rehat iklan, kita kembali disuguhi adegan berbau darah. Atau lebih tepatnya: ancaman adegan berdarah.
Mari kita mundur sebentar ke Februari 2025. Kala itu, Israel belanja besar-besaran: 7,4 miliar dolar (Rp 118,4 Triliun) untuk bom dan misil. “Mumpung diskon?” Mungkin. Atau karena stok mereka habis dipakai untuk “mengerjakan” Gaza. Rupanya itu juga jadi modal perang melawan Iran. Presiden Biden sempat ogah mengirim bom 907 kg -- apalagi yang 13 ton-- karena terlalu mematikan.
Namun begitu Trump kembali ke Gedung Putih, bom itu pun meluncur -- secara harfiah dan administratif. Dunia tak pernah tahu, apa sebenarnya deal bisnis antara Trump dan Netanyahu, sampai-sampai dia menjatuhkan bukan hanya satu bom penembus bumi 60 meter, tapi tiga sekaligus ke fasilitas penyimpanan bahan nuklir di Fordow, Iran.
Namun, Israel tetap porak-poranda. Dan kini, di bulan Juli, mereka kembali membeli bom --senilai “hanya” setengah miliar dolar-- yang terasa seperti belanja harian di minimarket. Kok sedikit? Karena dompet Israel sudah sobek.
Perang dua belas hari dengan Iran bukan hanya menghancurkan radar, pangkalan, dan ego, tapi juga anggaran Israel. Dengan senjata Rp 118 Triliun saja Israel kewalahan melawan Iran, apalagi hanya dengan senjata seharga Rp 8,25 Triliun, Israel pasti keok lawan Iran, bisa-bisa langsung rata dengan tanah, maksudnya habis dari muka bumi.
Seorang ahli dari King’s College London, Andreas Krieg, menyebut gencatan senjata ini ibarat tali sepatu yang sudah usang: bisa putus kapan saja. Apalagi jika Iran merasa waktunya membalas, Israel merasa waktunya menyerang lagi, dan negara-negara Teluk sibuk buka puasa bersama, berbagi hadiah, sambil main diplomasi.
Tapi jangan bayangkan perang selanjutnya hanya bakal seperti film perang tahun 1940-an. Kita sekarang hidup di zaman ghost war --perang yang tak kasatmata tapi tetap bisa bikin mati. Serangan siber, pembunuhan ilmuwan nuklir, sabotase pom bensin, hingga gangguan GPS --semua masuk daftar “do it quietly” ala Mossad.
Lalu, kenapa Israel rajin banget belanja senjata padahal gencatan senjata masih hangat? Jawabannya bisa jadi: karena Benjamin Netanyahu. Sang perdana menteri (yang sebetulnya sudah bisa buka warung sendiri saking seringnya menjabat) tampaknya tidak ingin perang berhenti terlalu lama.
Ada tekanan politik dalam negeri, ada ekspektasi dari fans-nya di sayap kanan, dan tentu saja: ada Trump. “Gencatan senjata” tampaknya hanya digunakan Netanyahu seperti kita menggunakan tombol snoozedi alarm pagi hari: sekadar menunda sebentar, bukan mematikan. Itu berarti sirene perang siap-siap berbunyi lagi?
Sementara itu di pihak seberang, Iran tampak sedang bermain catur. Serangan balasan mereka selama konflik Juni terbilang “bermartabat”: kirim drone ke pangkalan Al-Udeid di Qatar (yang kebetulan milik AS), ganggu sinyal satelit, dan mengirim ancaman ke langit-langit diplomasi.
Tapi jangan salah: di balik layar, IRGC (Korps Garda Revolusi Islam) kini diisi pemain-pemain baru yang menurut para analis jauh lebih agresif dan jauh lebih “tidak sabaran.” Mereka adalah generasi muda yang digembleng dengan ideologi kesyahidan dan glorifikasi imperium Iran.
Dan jangan lupakan variabel paling eksplosif dari semuanya: nuklir. Iran mungkin sedang berpikir keras, “Kalau Korea Utara bisa selamat karena nuklir, kenapa kami tidak?” Dunia mungkin berpikir ini gila. Tapi bagi mereka, ini logika bertahan hidup. Negara sebesar Amerika dan Eropa boleh sombong, tapi Iran rupanya bukan kaleng-kaleng.
Namun jangan salah sangka. Di balik kata “gencatan senjata” yang terdengar manis seperti janji kampanye, kenyataannya situasi lebih mirip perjanjian dua preman pasar: kita damai, tapi kalau _lo nyenggol, gua ledakin._
Laporan dari Newsweek menyebutkan bahwa hanya beberapa hari setelah kesepakatan gencatan senjata diteken oleh Presiden Trump (tentu dengan gaya dramatis dan caps lock), keduanya sudah mulai saling tuding dan saling tembak.
Iran mengebom Beersheba dan bilang, “Itu sebelum gencatan, sumpah.” Israel tak kalah responsif: “Kita balas dong, pakai airstrike presisi. Kan presisi, jadi boleh.” Bahkan beberapa drone misterius beterbangan di atas Iran, entah kiriman siapa --mungkin dari Mossad, mungkin dari lapak online.
Dan ini belum masuk ke bab covert operation, alias operasi diam-diam yang tak pernah benar-benar diam. Iran mengklaim telah menangkap lebih dari 700 orang yang katanya kerja sambilan sebagai agen Mossad. Ada yang diadili dengan tuduhan mata-mata, beberapa bahkan sudah dihukum mati dengan cara digantung.
Sementara itu, pembunuhan ilmuwan nuklir, ledakan misterius, dan bom mobil jadi rutinitas terjadi di Iran, seperti sinetron yang tayang tiap malam. Kalau Anda pikir ini cerita film, salah. Ini berita. Dan sayangnya, berdasarkan kisah nyata.
Lalu ada pula parade retorika. Netanyahu menyebut operasi terakhir sebagai “kemenangan bersejarah,” seolah-olah ia baru saja menang olimpiade. Tak mau kalah, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut serangan balik Iran sebagai “kemenangan besar.”
Meski apa yang dimenangkan tidak terlalu jelas --selain harga minyak yang ikut naik. Keduanya tampak sedang lomba pidato dengan tema “Siapa Paling Suka Perang?”, lengkap dengan jargon dan dada dibusungkan.
Sementara itu, kata para analis, program nuklir Iran masih hidup dan sehat, meski sempat digebukin Israel dan AS. Malah kini lebih tersembunyi dan sulit dilacak. IAEA dibatasi aksesnya, dan persediaan uranium Iran makin banyak.
Bahasa kerennya: enrichment, alias pengayaan uranium, terus berjalan. Kalau ini terus dibiarkan, Israel bisa saja besok kembali berteriak, “Nuclear! Danger! Strike!” dan kita semua kembali ke babak baru drama Timur Tengah ini -- episode ke-999.
Walakin, artikel ini tidak untuk jualan bom, tidak menawarkan solusi instan, dan tidak dibayar oleh Pentagon. Tapi ia mengingatkan kita: jika dunia terus membiarkan dendam ditambal dengan bom, maka satu-satunya yang akan tumbuh bukan perdamaian, tapi pasar senjata.
Dan seperti yang kita tahu, pasar ini tidak pernah tutup -- apalagi saat sedang diskon konflik--. Itu semua pertanda permainan perang belum akan pernah benar-benar tutup layar.
(Penulis adalah wartawan senior)
Artikel Terkait
Fantastis! Utang Indonesia Sentuh Rp10.269 Triliun, Publik Singgung Duet Mulyono dan Mulyani
Menghitung Hari Pemecatan Gibran
Luhut Jenguk Jokowi di Bali: Semoga Tuhan Angkat Sakit Beliau
Ganti Nama Rumah Sakit Al Ihsan Jadi Welas Asih, Dedi Mulyadi Dikecam Publik: Gubernur Islamophobia!