KASUS Kasus Mangkrak Denny Indrayana: Ironi Jejak Sang ‘Ksatria’ Anti-Korupsi
Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan pohon jati tinggi menjulang, atau mungkin membangun candi sebesar Borobudur. Tapi di negeri konoha ini, sepuluh tahun kadang tak cukup untuk menyelesaikan sebuah kasus dugaan korupsi, apalagi menyeret sang terduga ke balik jeruji besi.
Kasus hukum yang menimpa Denny Indrayana kembali menjadi sorotan publik. Sosok yang dulunya dielu-elukan sebagai pendekar antikorupsi, ternyata masih tersangkut dalam kasus dugaan korupsi. Kasus ini mangkrak seperti pembangunan Ibu Kota Negara baru.
Denny Indrayana banyak dikenal publik sebagai pakar hukum tata negara, aktivis antikorupsi, pengacara berizin praktik di Indonesia dan Australia serta pernah menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014).
Jabatan yang mentereng bahkan sempat menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN (2008-2011).
Denny menyelesaikan studi sarjana hukumnya di UGM, kemudian melanjutkan program master di Universitas Minnesotta, AS dan program doktor di Universitas Melbourne, Australia.
Sejak 2015, Denny mendirikan dan menjadi Senior Partner pada firma hukum Indrayana Centre for Government Constitution and Society yang disingkat Integrity.
Denny juga menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (2010-2018), serta profesor tamu di Melbourne University Law School, Australia (2016-2019).
Dia juga merupakan salah satu pendiri Indonesian Court Monitoring dan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM.
Pada 2022, pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan pada 1972 itu mendapatkan izin praktik pengacara di Melbourne, Australia, dan membuka kantor cabang di kota tersebut.
Dengan demikian, Denny Indrayana tercatat menjadi satu-satunya lawyer yang mempunyai izin advokat di dua negara sekaligus yaitu Indonesia dan Australia.
Dari menara gading akademisi, ia tak henti-hentinya menyuarakan pentingnya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa alias extraordinary crime. Retorikanya tajam, analisisnya mendalam, dan setiap pernyataannya selalu mengundang decak kagum.
Sikapnya tegas dalam mendesak penegakan hukum terhadap para gembong koruptor. Tak jarang ia mengkritik keras lembaga penegak hukum yang dianggap lembek dalam menangani kasus-kasus kakap.
Ia adalah "pemegang obor" keadilan yang selalu siap menerangi kegelapan praktik haram di negeri ini. Pernyataannya tentang ‘hukuman mati bagi koruptor’ atau ‘pemiskinan koruptor’ seolah menjadi mantra wajib yang diucapkan di setiap forum.
Terjerat Payment Gateway
Tapi, waktu berkata lain. Denny kemudian masuk kategori yang sama dengan koruptor yang dulu dia kecam.
Kasusnya bermula saat Denny menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011–2014). Ia meluncurkan sistem payment gateway untuk pembayaran paspor di Kemenkumham.
Ia diduga menginstruksikan pemilihan dua vendor, PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia, tanpa melalui prosedur yang semestinya.
Pada 2015, Denny ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Kasus ini disinyalir merugikan negara sebesar Rp32,09 miliar.
Meskipun telah berstatus tersangka sejak 2015, hingga kini Denny belum ditahan, dan proses hukum terhadapnya belum menunjukkan perkembangan signifikan.
Hal ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak yang menilai adanya ketidakseriusan dalam penanganan kasus ini.
Denny sendiri saat dikonfirmasi tersangkut kasus itu pada 2015 silam mengatakan siap dengan segala risiko jika benar terbukti terlibat korupsi.
"Aku kira di Bareskrim sudah jalan. Saya siap dengan segala risiko. Saya nggak tahu. Saya dapat info dari Twitter, Kompasiana. Ada yang sebut saya. Saya merasa terhormat saja. Payment Gateway. Saya ingin ada pelayanan publik yang baik di Kemenkum HAM. Yang bayar manual secara online. Itu pasti ada cas. Itu yang dikira memperkaya orang lain," ujar Denny, kepada wartawan, Selasa (10/2/2015).
Ini bukan due process of law, tapi lebih mirip delay process by law enforcement. Entah karena berkas mangkrak, atau karena statusnya sebagai eks-pejabat dan aktivis senior bikin penyidik ragu menyentuhnya.
Istilah populernya ‘selective justice’ alias hukum tajam ke bawah, tumpul ke Mantan Wamen.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Abdullah mengakui, kasus dugaan korupsi yang menyeret Denny Indrayana 2015 terkesan mangkrak.
“Kritik mengarah pada tidak seriusnya komitmen pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum yang dinilai masih tebang pilih,” tutur Abdullah saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/5/2025).
“Mangkraknya kasus ini merupakan salah satu bentuk ketidakseriusan penyidik (kepolisian). Lebih jauh lagi muncul dugaan tindakan tebang pilih dalam kasus ini mengingat Denny Indrayana merupakan mantan Wamenkumham,” tambah Andri Rahmat Isnaini, praktisi hukum Universitas Esa Unggul, Rabu (21/5/2025).
Idealis Menjadi Pragmatis
Denny bukan yang pertama dan tampaknya bukan yang terakhir aktivis yang terjerumus. Indonesia punya daftar panjang alumni gerakan mahasiswa yang berubah dari idealis menjadi pragmatis, lalu akhirnya jadi tersangka.
Salah satunya, publik mungkin masih belum lupa kasus Anas Urbaningrum, eks Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang dikenal jenius dan artikulatif. Ujung-ujungnya dibui karena proyek Hambalang.
Di dunia internasional, tengok saja Luiz Inácio Lula da Silva, mantan buruh dan aktivis kiri di Brasil yang juga sempat mendekam di balik jeruji karena korupsi, sebelum akhirnya comeback dan mejadi presiden lagi. Dunia memang penuh plot twist.
Banyak pihak mengkritik Denny karena seolah memiliki kartu imun layaknya hak imunitas parlemen. Tapi publik kini lebih cerdas.
Di era digital, jejaknya tidak bisa dihapus dengan klarifikasi satu paragraf. Netizen punya daya ingat lebih kuat daripada memori institusi penegak hukum.
Yang jelas, kasus ini harus segera dituntaskan jangan sampai tidak selesai-selesai karena tidak hanya mencerminkan ketidakpastian hukum tetapi juga kasihan kepada para tersangka.
Tidak adanya kepastian hukum membuat kehidupan yang bersangkutan semakin tidak jelas karena dihantui perkara yang belum tuntas. Seperti memiliki utang.
“Akan tidak beradab apabila dihukum tanpa proses peradilan dengan menyandang beban tersangka seumur hidup," ujar Pakar Hukum dari Universitas Bung Karno Hudi Yusuf, Kamis (22/5/2025) seraya mendorong agar kasus ini diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus ini bukan sekadar soal paspor dan payment gateway, tapi tentang bagaimana kekuasaan bisa menguji orang-orang yang pernah dianggap suci oleh publik.
Ini juga pengingat bahwa semangat antikorupsi bukan warisan abadi, ia bisa lapuk oleh kekuasaan, atau berubah wujud jadi tameng moral palsu.
Kalau pun Denny nanti dibebaskan atau dihukum, yang jelas publik sudah belajar. Aktivis hari ini bisa jadi tersangka besok pagi.
Yang kita butuhkan bukan hanya suara lantang di jalanan, tapi juga konsistensi ketika duduk di kursi kekuasaan.
Karena seperti kata pepatah hukum Romawi: Fiat justitia ruat caelum—keadilan harus ditegakkan walau langit runtuh. Sayangnya, di negeri ini, langit tak runtuh, hukum malah lunglai duluan.
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Atalia Praratya Ngaku Sudah Alami Berbagai Cobaan Hidup hingga Pasrah: Rela Diapain Aja
Gibran Jajal Alat Tanam Padi di Ngawi tapi Gerakannya Maju, Yang Ditanam Malah Keinjak
Pelaku Prostitusi Ungkap Alasan Beroperasi di IKN: Tamu Banyak dan tak Pelit, Tarif Bervariasi
Panen Perdana Sawah Prabowo di Papua Selatan Tuai Kontroversi: Konflik Lahan vs Ketahanan Pangan?