Menimbang Diamnya Prabowo: Ijazah Jokowi dan Dilema Abolisi

- Sabtu, 17 Mei 2025 | 13:00 WIB
Menimbang Diamnya Prabowo: Ijazah Jokowi dan Dilema Abolisi


Menimbang Diamnya Prabowo: 'Ijazah Jokowi dan Dilema Abolisi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Sudah berbulan-bulan isu ijazah Presiden Joko Widodo bergulir—menggulung ruang publik, mencabik kepercayaan rakyat, dan membelah nalar hukum. 


Ada yang menyebutnya fitnah politik, ada pula yang meyakininya sebagai skandal konstitusional paling fatal sejak Reformasi. 


Di tengah keributan itu, satu nama yang menarik untuk diamati justru duduk tenang di kursi barunya sebagai Presiden terpilih: Prabowo Subianto.


Diamnya Prabowo seperti mengandung makna. Padahal, dalam konstitusi, kewenangan istimewa untuk mengakhiri atau mempercepat penuntasan perkara ini telah tersedia di tangannya. 


Prerogatif itu bernama abolisi—kewenangan presiden sebagai kepala negara untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang demi alasan politik, stabilitas, dan kepentingan nasional. 


Abolisi, meski jarang dibahas, adalah pisau tajam yang mampu membelah simpul kisruh tanpa harus menunggu pengadilan memutus.


Namun mengapa pisau itu tetap tersarung?


Pertanyaan ini menjadi penting karena secara politis, Prabowo bukan lagi sekadar pihak luar. Ia bukan oposisi. Ia bukan sekadar mitra koalisi. 


Ia adalah presiden terpilih—dan karenanya, memiliki otoritas moral dan konstitusional untuk mendorong penyelesaian polemik yang telah memalukan republik ini.


Tapi diam Prabowo bukan tanpa motif. Prabowo tahu, abolisi bukan jalan sunyi. Ia bukan keputusan tunggal.


Meski berada dalam kewenangan prerogatif presiden, penerbitan abolisi harus memperhatikan masukan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, hingga Dewan Perwakilan Rakyat. 


Dan yang lebih pelik: abolisi tidak membatalkan dosa, ia hanya menangguhkan proses. 


Dengan kata lain, Prabowo tak bisa menjamin bahwa abolisi akan menyembuhkan luka, apalagi memperbaiki kepercayaan rakyat yang telah robek oleh dugaan pemalsuan dokumen akademik seorang presiden.


Lebih dari itu, abolisi dalam konteks ini bukan hanya soal hukum, tapi soal legitimasi. 


Mengeluarkan abolisi demi menyelamatkan Jokowi sama saja dengan Prabowo mengikat dirinya ke dalam dosa masa lalu sang petahana. 


Itu bukan sekadar tanda loyalitas, melainkan ikrar politik bahwa ia siap menanggung beban sejarah Jokowi—sekaligus membentengi sebuah masa lalu yang cacat dari pengadilan publik.


Maka diam Prabowo bisa dibaca sebagai strategi. Sebagai perwira, ia paham pentingnya waktu dan momentum.


 Jika ia bertindak terlalu cepat, ia bisa terjebak dalam arus delegitimasi. Jika ia terlambat, ia bisa kehilangan kendali atas narasi. 


Dengan membiarkan polemik ini terus mengalir, Prabowo sedang menghitung: seberapa besar rakyat peduli? 


Seberapa kuat tekanan elite? Seberapa genting dampaknya pada stabilitas nasional dan masa depannya sebagai kepala negara?


Lagi pula, membiarkan isu ini bergulir tanpa intervensi langsung juga memberi ruang bagi skenario lain: yakni agar Jokowi menyelesaikan sendiri urusannya sebelum tongkat kuasa berpindah tangan. 


Prabowo bisa berdalih: “Saya belum menjabat, saya menghormati proses hukum.” Dalam politik, keheningan pun bisa menjadi bahasa.


Tapi publik tak bisa menunggu selamanya.


Jika abolisi tak menyelesaikan masalah, apa gunanya? Ini pertanyaan yang harus dijawab. 


Karena realitas hari ini menunjukkan, persoalan ijazah Jokowi telah menjadi bola liar yang bukan hanya menyeret marwah individu, tetapi juga kepercayaan rakyat pada sistem. 


Kita sedang mempertanyakan: apakah negeri ini masih menjunjung kejujuran administratif? Atau kita telah rela memaafkan segala kebohongan asal stabilitas tetap terjaga?


Prabowo bisa diam sekarang. Tapi sejarah mencatat: pemimpin yang membiarkan dusta tumbuh tanpa arah, akan dipaksa menanggung beban kebenaran yang tak terucap. 


Dan kelak, diam bisa berubah menjadi dosa yang lebih parah daripada kesalahan itu sendiri.


Catatan akhir:

Abolisi bisa menghentikan kisruh. Tapi tidak bisa menghapus pertanyaan. Dan Prabowo tahu, dalam republik yang sakit, keheningan bisa lebih mematikan daripada konflik terbuka. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini