Polemik mengenai keaslian ijazah mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan publik. Kasus serupa yang dulu pernah ramai dibicarakan saat Jokowi masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kini muncul kembali, ijazah kuliahnya Jokowi dipertanyakan lagi keasliannya.
Mengapa hingga kini, masalah sesederhana membuktikan keaslian ijazah masih menjadi perdebatan panjang? Padahal, dalam dunia modern yang sangat terbuka dan terdokumentasi, hal seperti ini seharusnya bisa diklarifikasi dengan cepat dan lugas. Namun yang terjadi justru sebaliknya: bertele-tele, hingga publikpun semakin bertanya-tanya.
Jika memang ijazah kuliah Jokowi asli, maka satu-satunya sikap yang pantas dan bijak adalah menunjukkan ijazah tersebut secara terbuka dan resmi kepada publik.
Ini bukan soal merendahkan pribadi seseorang, bukan mengacak-acak hak asasi seseorang, tetapi ini soal pembuktian integritas seseorang dalam jejak pendidikan formalnya. Apalagi Jokowi adalah seorang mantan Presiden. Jadi wajar jika hal tersebut harus dijawab dan dibuktikan dengan nyata. Sebagai orang yang pernah memimpin negeri ini, Jokowi harusnya berdiri di atas fondasi kejujuran dan keberanian. Menyembunyikan atau berkelit dari klarifikasi hanya akan menciptakan kecurigaan, kegaduhan, bahkan bisa menjadi preseden buruk bagi fase kepemimpinan generasi selanjutnya.
Bukan hanya Jokowi yang perlu bersikap jujur. Universitas Gadjah Mada (UGM), institusi yang diklaim sebagai almamater beliau, juga punya tanggung jawab moral dan akademik untuk menjelaskan secara gamblang. Institusi pendidikan tinggi seharusnya menjadi benteng integritas ilmiah dan kejujuran akademik. Jika UGM memiliki bukti valid bahwa Jokowi memang lulusan sah dari universitas tersebut, maka mereka harus menyampaikannya dengan terbuka, lengkap, dan tidak setengah-setengah. Sebaliknya, jika ada kejanggalan atau data yang tidak sinkron, itu pun harus disampaikan dengan jujur, apapun risikonya.
Kita tidak boleh terus terusan membiarkan isu ini menjadi komoditas politik atau sekadar bahan perdebatan di media sosial tanpa arah. Sudah cukup panjang masa Jokowi menjabat sebagai Presiden di Republik ini. Kita kini sudah memiliki presiden baru, Prabowo Subianto, yang secara konstitusional sah memegang tampuk kepemimpinan sebagai Presiden RI. Maka, kita harus bersikap rasional: tidak perlu lagi memberi panggung politik untuk Jokowi. Perannya sudah selesai. Dia adalah “sang mantan” dalam konteks kepemimpinan nasional. Biarlah sejarah yang menilai kinerjanya, namun jika ada jejak masalah yang tertinggal, itu tetap harus diselesaikan. Tidak boleh ada impunitas, sekecil apapun.
Jika benar ada kejanggalan dalam proses administratif seperti ijazah palsu atau pemalsuan dokumen, maka ini bukanlah perkara kecil. Ini masalah hukum dan moral yang harus diproses secara jujur, adil dan transparan. Tidak bisa ditutupi dengan narasi-narasi pembelaan yang normatif. Kita tidak bisa menukar integritas dengan pencitraan. Kita tidak bisa membiarkan sejarah bangsa ini ditulis oleh kebohongan yang dibiarkan begitu saja.
Sebaliknya, jika ternyata semua tuduhan tidak berdasar dan Jokowi memang memiliki ijazah yang sah dan legal, maka ini akan menjadi bukti dan mengklarifikasi secara resmi dan membebaskan Jokowi dari fitnah yang terus mengganggu kredibilitasnya. Tetapi jika Jokowi terus memilih diam, menghindar, atau membiarkan orang-orang di sekitarnya menjadi tameng dalam menjawab isu ini, maka wajar jika publik menilai bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Kita tidak sedang meminta sesuatu yang berlebihan. Kita hanya menuntut kejelasan dan kejujuran. Dua hal yang seharusnya menjadi fondasi dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati tidak akan membiarkan rakyatnya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Ia akan berdiri, menatap mata rakyatnya, dan berkata, “Ini ijazah saya!!”
Kini panggung politik sudah berubah. Prabowo adalah presiden terpilih. Saatnya Jokowi tahu diri, mundur dari sorotan, dan tidak lagi mengambil ruang yang bukan miliknya. Tetapi jika warisan yang ia tinggalkan adalah tumpukan masalah, maka tanggung jawabnya belum selesai. Kita harus memilah antara menghormati yang sudah purna tugas dan menyelesaikan yang belum tuntas.
Bangsa ini tidak boleh lelah menuntut kejujuran. Karena dari kejujuran itulah, keadilan bisa tumbuh. Dan dari keadilan, lahirlah kepercayaan yang selama ini terus diuji di republik yang kita cintai ini. Semoga polemik ijazah ini segera berakhir. Inilah ujian standar moral demokrasi bangsa ini. Wallahualam.
Oleh: Untung Nursetiawan
Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
MUI Respons Kang Dedi: Atasi Kemiskinan Bukan dengan Memandulkan, tapi Ciptakan Lapangan Kerja
Viral! Sepasang Remaja Kegep Berbuat Tak Senonoh di Masjid Garut, Warga Heboh
Ngaku Bekas Orang Gila, Hercules Sebut Tak Takut Pada Gatot Nurmantyo
Prabowo Dukung UU Perampasan Aset, KPK Berdiri Bersama Rakyat Berantas Korupsi