Keesokan harinya, Senin (24/11), dalam pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Istana, Presiden menyoroti hal yang cukup mencengangkan: ternyata ada dana pemerintah daerah mengendap di bank yang nilainya mencapai Rp 203 triliun! Beliau juga mempertanyakan realisasi belanja daerah yang mentok di angka 68 persen hingga November 2025 jauh dari target di atas 80 persen. Sikap ini membuktikan ada kepedulian sekaligus evaluasi yang serius terhadap kinerja.
Persoalan dana mengendap itu sebenarnya bukan hal baru. Menteri Keuangan Purbaya sendiri sudah beberapa kali menyuarakannya. Tapi, perhatian langsung dari Presiden menunjukkan bahwa laporan Menkeu itu ditanggapi serius, bukan sekadar formalitas belaka.
Selain soal dana mengendap, Purbaya juga menyoroti banyak aspek lain yang krusial. Mulai dari kebijakan pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Transfer Ke Daerah (TKD), penolakan pembayaran utang kereta cepat lewat APBN, persoalan di sektor perpajakan, praktik under-invoicing di kepabeanan, sampai maraknya impor ilegal barang bekas atau thrifting. Ia juga menyentil soal lambannya pembangunan kilang minyak dan serapan anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dari berbagai pernyataan dan langkah tadi, publik dan kekuatan politik sebenarnya bisa membaca arah kebijakan Presiden, khususnya di sektor ekonomi. Sementara untuk pembenahan hukum dan tata negara, Presiden tampaknya mempercayakannya pada figur-figur seperti Profesor Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Wajar saja jika seorang pemimpin menunjuk orang yang dipercayainya untuk menangani tugas-tugas strategis semacam itu.
Tapi, peran kekuatan politik lain tetaplah penting dan dibutuhkan. Kontribusi Golkar, misalnya. Dengan kerja yang proaktif, koordinatif, dan kolaboratif baik dengan para tokoh yang dipercaya Presiden maupun melalui forum formal seperti rapat kerja di DPR pengalaman panjang Golkar dalam tata kelola bisa menjadi nilai strategis. Termasuk untuk memperkuat kemitraan pemerintah dengan swasta dalam meningkatkan daya saing industri nasional di kancah global.
Lebih dari sekadar pengalaman, Golkar bersama Gerindra dan partai pendukung pemerintah lainnya harus bahu-membahu. Tantangan kita nyata: ketimpangan ekonomi, produktivitas yang masih rendah. Penguatan belanja di sektor pangan dan energi harus jadi prioritas. Masalahnya, tantangan ekonomi Indonesia tidak cuma soal ketimpangan. Struktur ekonomi kita masih bergantung pada impor, infrastruktur strategis minim, dan sumber daya manusia di sektor digital yang kompeten juga masih kurang.
Harapan untuk kebangkitan ekonomi nasional akhirnya bertumpu pada sinergi seluruh komponen bangsa. Pemerintah dan swasta harus bersama-sama memperkuat daya saing industri, mendorong transformasi digital, dan menjamin keberlanjutan kebijakan serta kepastian regulasi. Semua itu perlu didukung kebijakan yang bijaksana, fokus pada peningkatan produktivitas, dan yang paling utama: berpihak pada kepentingan nasional.
Artikel Terkait
KPK Bantah Penghentian Penyidikan Kasus Kuota Haji di Sidang Praperadilan
Ratusan Ton Bantuan Polda Metro Jaya Bergerak ke Sumatera yang Luluh Lantak
Dari TKW ke Buronan Narkoba, Dewi Astutik Ditangkap di Kamboja
Ribuan Personel Siaga di Silang Monas, Reuni 212 Dijamin Aman Tanpa Senjata Api