Menarik, apa yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Asshiddiqie. Dalam video yang beredar viral, beliau menilai perkara ijazah palsu bukanlah ranah pidana. Tidak ada kaitannya, dengan pencemaran atau fitnah.
Sebaliknya, ijazah adalah produk Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai produk KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara), maka pengujian keabsahan ijazah ada pada wewenang hakim peradilan tata usaha negara (PTUN).
Jadi, berdasarkan referensi Prof Jimly Asshiddiqie, Penyidik Bareskrim Polri tidak berwenang menyatakan ijazah sah atau tidak sah, apalagi asli atau tidak asli. Yang berwenang menentukan keabsahan pruduk KTUN adalah badan peradilan TUN, yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hanya saja, problemnya KTUN berupa ijazah UGM ini telah melampaui batas 90 hari sejak diterbitkan. Sehingga, tak lagi bisa diajukan di Badan Peradilan TUN.
Karena itu, menurut Prof Jimly Asshiddiqie, ranahnya menjadi ranah perdata di Badan Peradilan Umum, yakni di Pengadilan Negeri. Fokus objek materinya adalah adanya perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan Ijazah, baik proses, prosedur maupun substansi. Dan saat ini, proses tersebut sedang bergulir di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman.
Karena itu, tidak pantas dan lancang tindakan penyidik Polda Metro Jaya, yang menarik perkara ijazah Jokowi ini ke ranah pidana, berdasarkan dua alasan:
Pertama, keabsahan ijazah Jokowi bukan kewenangan penyidik. Sehingga, penyidik tidak bisa membuktikan ijasah Jokowi sah atau asli, yang dengan predikat tersebut bisa dijadikan sarana untuk mempersoalkan kritik terhadap ijazah Jokowi sebagai fitnah dan/atau pencemaran.
Kedua, proses perdata yang bergulir di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman harus dihormati. Mengingat, ada PERMA Nomor 1 Tahun 1956, yang menyatakan perkara perdata wajib didahulukan dan pidana yang beririsan harus dikesampingkan hingga ada keputusan yang tetap atas hak keperdataan Jokowi terhadap ijazah yang dimilikinya.
Karenanya, saat konpers pasca pemeriksaan Dr Rismon Sianipar di Polda (26/5), penulis menegaskan klarifikasi yang diberikan sudah mencukupi. Tidak ada urgensi dan relevansinya penyidik Polda Metro Jaya kembali mengundang Klien kami, baik Dr Rismon Sianipar, Dr Roy Suryo, dr Tifauzia Tyassuma, Kurnia Tri Royani, Rizal Fadilah hingga Eggi Sudjana.
Semestinya, Polda Metro Jaya menghormati proses perdata baik yang bergulir di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sleman, hingga mendapatkan keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Ingat, semangat kita dalam perkara ini adalah untuk mencari kebenaran dan menyelamatkan legacy sejarah bangsa Indonesia untuk generasi selanjutnya. Bukan semangat untuk memenjarakan anak bangsa, hanya karena memiliki pendapat yang berbeda. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H
Advokat, Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Viral Oknum Polantas di Gowa Terekam Kamera Tawar-Menawar Denda Tilang Rp 150 Ribu
Buku Ubedilah Badrun Ungkap Warisan Kegelapan Rezim Jokowi
Silfester Matutina Diperiksa Terkait Kasus Ijazah Jokowi, Sebut Roy Suryo Tak Punya Bukti
Orasi Ilmiah Wisuda Paramadina, Prof. Muhadjir Effendy: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika