Hukum Mati Koruptor atau Rakyat yang Habisi Koruptor?

- Senin, 19 Mei 2025 | 06:25 WIB
Hukum Mati Koruptor atau Rakyat yang Habisi Koruptor?


?KALAU ada satu penyakit yang bikin bangsa ini enggak maju-maju, jawabannya bukan sekadar kurang pendidikan atau kurang infrastruktur. Jawaban paling jujur: korupsi.

Bukan korupsi ecek-ecek, tapi yang sistemik, berjemaah dan dilakukan oleh orang-orang yang digaji negara, duduk di kursi empuk, dan tiap hari ngomong soal “melayani rakyat”.

Kita sudah terlalu lama bersabar. Sudah terlalu sering lihat berita pejabat ditangkap karena nyolong uang negara, tapi besoknya sudah tersenyum di media. Dihukum ringan, dipenjara sebentar, lalu hidup normal lagi.

Sementara rakyat yang uangnya dicuri harus terus kerja keras, banting tulang, nyari makan susah.

Jadi, wajar kalau hari ini muncul pertanyaan: perlukah koruptor dihukum mati? Atau, kalau negara masih diam saja, biar rakyat yang bertindak?

Koruptor itu Musuh Publik

Koruptor bukan sekadar pencuri. Mereka merampas hak orang banyak. Duit yang harusnya buat bangun sekolah, rumah sakit, jalan desa, malah masuk ke rekening pribadi.

Belum lagi yang dipakai buat beli mobil mewah, pelihara istri simpanan, dan jalan-jalan ke luar negeri. Dan yang lebih parah: mereka seringkali lolos dari hukuman berat.

Korupsi bukan kesalahan teknis. Itu kejahatan. Bahkan lebih jahat dari perampok bersenjata. Karena koruptor nyolongnya sambil pakai dasi, duduk manis di ruangan ber-AC, sambil ngomong soal “integritas”.

Kalau koruptor masih dianggap sekadar pelanggar administratif, maka negara ini sedang bermain-main dengan keadilan.

Hukum Kita Masih Kebanyakan Belas Kasih

Di negara ini, maling ayam bisa dihajar massa sampai tewas. Tapi koruptor yang maling triliunan Rupiah malah bisa tidur nyaman di dalam penjara yang lebih mirip hotel. Ada AC, ada televisi, kadang bisa keluar masuk dengan alasan “berobat”.

Ada banyak contoh. Koruptor divonis ringan karena dianggap sudah “tua”, “sakit-sakitan”, “punya jasa terhadap negara”. Bayangkan kalau semua pelaku kejahatan pakai alasan begitu. Penjara bisa kosong. Yang dipenuhi malah rumah-rumah warga yang masih harus bayar pajak sambil melihat pajaknya dicuri.

Apa kita ini terlalu baik hati? Atau memang hukum sengaja dibuat tumpul ke atas dan tajam ke bawah?

Hukum Mati Bukan Tabu, Kalau Tujuannya untuk Keadilan

Sebagian orang bilang, hukuman mati itu kejam. Tapi kita juga harus bertanya: bukankah mencuri uang negara yang bikin jutaan rakyat menderita itu jauh lebih kejam?

Ketika dana pendidikan dikorupsi, anak-anak jadi putus sekolah. Ketika dana kesehatan disikat, pasien tak bisa berobat. Ketika uang bansos digelapkan, orang miskin kelaparan. Jadi sebenarnya, siapa yang lebih kejam?

Coba tengok negara seperti Tiongkok. Mereka tegas. Koruptor dihukum mati, dan tidak ada basa-basi. Hasilnya? Tingkat korupsi menurun drastis. Kenapa? Karena efek jera itu nyata.

Negara kita juga pernah wacanakan itu. Tapi, seperti biasa, cuma sebatas wacana. Tidak pernah serius dijalankan. Entah karena takut kehilangan teman, atau karena terlalu banyak pejabat yang bisa kena duluan kalau aturan itu benar-benar diterapkan.

Rakyat Semakin Muak

Di luar sana, banyak orang yang sudah tidak percaya lagi pada lembaga penegak hukum. Setiap ada koruptor ditangkap, mereka senang, tapi juga skeptis: “Paling juga dihukum ringan.” Atau: “Paling nanti dipotong masa tahanan.” Atau yang lebih parah: “Pasti ini cuma permainan politik.”

Rasa muak itu sudah di ujung kepala. Kalau terus-menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin rakyat akan ambil tindakan sendiri. Bukan karena mereka beringas, tapi karena mereka tidak tahan lagi.

Kalau negara gagal menegakkan keadilan, maka keadilan bisa berubah bentuk: entah lewat unjuk rasa besar-besaran, pembangkangan sipil, atau bahkan kekerasan yang tidak diinginkan.

Sejarah sudah banyak memberi pelajaran. Ketika korupsi merajalela dan negara gagal bersikap tegas, rakyat akhirnya bangkit—dan kadang, bangkitnya tidak pakai kompromi.

Apa yang Bisa Dilakukan Negara?

Negara punya pilihan: tetap lembek atau mulai tegas. Hukuman mati bisa jadi jalan keluar, terutama untuk kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Tapi tidak cukup di situ.

Harus ada reformasi total. Mulai dari pembenahan lembaga hukum, pengawasan yang ketat, transparansi anggaran, hingga pendidikan antikorupsi yang serius. Bukan sekadar slogan atau lomba menulis di sekolah.

Yang lebih penting lagi: pengadilan dan jaksa harus bebas dari tekanan politik. Jangan sampai jaksa dan hakim cuma jadi “alat” penguasa. Kalau itu masih terjadi, jangan harap hukum mati akan jadi solusi. Yang ada, hukum mati cuma akan jadi alat untuk menyingkirkan lawan politik, bukan memberantas korupsi.

Bagaimana Kalau Negara Membiarkan?

Kalau negara terus diam, rakyat bisa bertindak. Ini bukan ajakan anarkis. Ini pengingat. Di banyak negara, revolusi dimulai karena ketidakadilan dan kemarahan yang dipendam terlalu lama.

Rakyat Indonesia itu sabar. Tapi sabar juga ada batasnya. Kalau sudah tak tahan, mereka bisa bergerak di luar sistem. Bisa lewat mogok bayar pajak, bisa lewat aksi boikot, atau bahkan membuat sistem sosial baru di luar negara.

Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan rakyat. Salahkan negara yang terlalu lama diam, terlalu sering memelihara koruptor, dan terlalu takut untuk bersikap.

Hukum Mati Jawabannya?

Jawaban jujurnya: mungkin iya, mungkin tidak.

Hukum mati bisa jadi solusi untuk membuat efek jera. Tapi kalau sistem hukum tetap korup, maka hukuman itu hanya akan jadi dagelan. Yang dihukum bukan yang paling bersalah, tapi yang paling lemah atau yang tidak punya pelindung.

Jadi, sebelum bicara soal hukuman mati, benahi dulu sistem hukumnya. Bersihkan dulu para penegak hukum dari korupsi. Tegakkan hukum secara adil dan setara. Kalau itu bisa dilakukan, maka hukum mati bisa jadi senjata ampuh.

Tapi kalau tidak? Maka rakyat akan berpikir: lebih baik bertindak sendiri daripada terus ditindas oleh sistem yang busuk.

Pilihan Kita Hari Ini akan Menentukan Masa Depan

Hari ini kita di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada pilihan untuk menegakkan hukum secara tegas, termasuk hukuman mati untuk koruptor kelas kakap. Di sisi lain, ada risiko dibiarkannya korupsi merajalela hingga akhirnya rakyat sendiri yang ambil alih “pengadilan”.

Apakah kita akan terus jadi bangsa yang memaafkan maling uang negara, atau jadi bangsa yang tegas melindungi hak rakyat?

Apakah kita masih percaya bahwa keadilan bisa ditegakkan lewat sistem, atau justru sudah saatnya rakyat bikin sistem baru yang lebih adil?

Jawabannya ada pada kita semua—tapi terutama pada mereka yang sedang berkuasa.

Karena kalau penguasa tak bisa berlaku adil, maka sejarah akan mengulang siklusnya: rakyat bangkit, penguasa tumbang. 

OLEH: KHAIRUL EL MALIKY
Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya, Esais, dan Cerpenis
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar