MURIANETWORK.COM - Pelaporan dugaan korupsi dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dan dana hibah APBD sebesar Rp 3,5 miliar oleh eks pegawai Baznas Jabar, Tri Yanto, menjadi sorotan publik.
Polda Jawa Barat menetapkan Tri Yanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembocoran dokumen rahasia yang menyertai laporan tersebut.
Kasus ini memicu kontroversi karena dianggap sebagai kriminalisasi terhadap whistleblower yang berani membuka praktik korupsi di institusi sosial.
Penetapan Tersangka Eks Pegawai Baznas Jabar Tri Yanto
Kepolisian Daerah Jawa Barat resmi menetapkan Tri Yanto, mantan pegawai Badan Amil Zakat Nasional Jawa Barat (Baznas Jabar), sebagai tersangka atas dugaan pembocoran dokumen rahasia lembaga tersebut.
Penetapan tersangka ini merupakan respon dari laporan yang sebelumnya diajukan oleh Tri Yanto terkait dugaan korupsi dana zakat sebesar Rp 9,8 miliar serta dana hibah dari APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,5 miliar.
Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Barat melakukan pemeriksaan awal terhadap Tri Yanto pada Senin, 26 Mei 2025.
Dalam pemeriksaan tersebut, Tri Yanto diduga melanggar Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengatur tentang akses ilegal terhadap dokumen elektronik dan pembocoran informasi rahasia yang berdampak pada kerugian institusi.
Penetapan tersangka ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama karena Tri Yanto sebelumnya mengajukan laporan pengaduan ke tim pengawas internal Baznas dan Inspektorat Pemprov Jabar terkait dugaan korupsi.
Namun, bukannya mendapatkan perlindungan atau tindak lanjut yang konstruktif, Tri Yanto justru menghadapi tuntutan pidana.
Sebelum proses hukum ini berjalan, Tri Yanto juga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh Baznas Jabar, meskipun statusnya saat itu masih karyawan tetap.
Hal ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai tindakan sewenang-wenang yang memojokkan pelapor dugaan korupsi.
Pihak kepolisian menyatakan bahwa proses penyelidikan dan penyidikan akan terus berjalan dengan mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi-saksi guna memastikan kebenaran kasus ini.
Penetapan tersangka menjadi langkah awal yang menunjukkan keseriusan aparat dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran UU ITE, meskipun hal ini berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Langkah Hukum dan Kontroversi Kriminalisasi Whistleblower dalam Kasus Baznas Jabar
Penetapan Tri Yanto sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari organisasi pembela hak asasi dan kebebasan berekspresi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengecam keras langkah hukum tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower.
Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, menyatakan bahwa tindakan pidana terhadap Tri Yanto merupakan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Heri, Tri Yanto seharusnya dipandang sebagai pelapor yang membantu negara mengungkap praktik korupsi di lembaga publik yang mengelola dana sosial masyarakat, bukan sebagai pelaku tindak pidana.
Ia menegaskan bahwa laporan Tri Yanto masih berada dalam batas pelaporan kejahatan dan wajib dilindungi oleh negara, bukan justru dijerat dengan hukum pidana.
Lebih jauh, LBH Bandung mengecam sikap Baznas Jabar yang memutus hubungan kerja Tri Yanto tanpa alasan jelas, serta melaporkan Tri Yanto ke polisi dengan tuduhan pembocoran dokumen rahasia.
LBH menilai hal tersebut sebagai bentuk intimidasi dan kriminalisasi yang bisa menimbulkan efek menakutkan (chilling effect) bagi masyarakat luas, sehingga pelapor korupsi lain akan enggan melapor karena takut mengalami hal serupa.
Sementara itu, SAFEnet mengkritik penggunaan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE, yang dikenal sebagai “pasal karet” karena sering disalahgunakan untuk membungkam suara kritis di ranah digital.
Organisasi ini menilai tren kriminalisasi kebebasan berekspresi dan partisipasi publik semakin meluas dengan dasar pasal-pasal di UU ITE yang tidak jelas dan multitafsir.
SAFEnet memperingatkan bahwa hal ini membahayakan demokrasi dan upaya pengawasan publik terhadap korupsi.
Berbagai organisasi dan masyarakat sipil kini mendesak agar Baznas mencabut laporan polisi terhadap Tri Yanto, dan menuntut pemerintah untuk segera memperbaiki perlindungan hukum bagi whistleblower.
Mereka mengingatkan pentingnya menciptakan iklim yang mendukung transparansi dan akuntabilitas, agar para pelapor kejahatan tidak menjadi korban kriminalisasi, melainkan dilindungi dan didukung.
Kasus Tri Yanto menjadi refleksi penting tentang bagaimana mekanisme pelaporan dugaan korupsi dan perlindungan whistleblower masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam hal implementasi hukum dan penegakan keadilan di Indonesia.
Penegakan hukum yang seimbang dan perlindungan bagi whistleblower adalah kunci agar korupsi bisa diberantas tanpa menimbulkan ketakutan bagi pelapor di masa depan.***
Sumber: redaksiku
Artikel Terkait
IAW Desak Audit Kuota Internet Hangus dan Anak Usaha Provider Pelat Merah, Potensi Kerugian Rp600 Triliun
Kasus ini Terang Benderang Dian Rela Dipanggil Polisi Ribuan Kali Demi Jokowi Soal Ijazah Palsu
Bobby Nasution dan Airlangga Diduga Terseret Penyelundupan 5,3 Juta Ton Bijih Nikel ke China
Bongkar Curhatan Jokowi Sebelum Laporkan Kasus Ijazah, Irma Chaniago Sindir Roy Suryo Soal Panci